Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah berencana menurunkan ambang batas (threshold) omzet usaha yang dapat memanfaatkan tarif PPh final UMKM sebesar 0,5%. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Rabu (18/12/2024).
Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan rencana untuk menurunkan threshold omzet PPh final UMKM dari Rp4,8 miliar menjadi Rp3,6 miliar dilatarbelakangi adanya rekomendasi dari OECD.
"Sebenarnya rencana penurunan kan sudah sempat disampaikan oleh Bu Menkeu [Sri Mulyani Indrawati] dan Pak Menko [Airlangga Hartarto] di beberapa kesempatan karena ada semacam catatan dan rekomendasi dari OECD," katanya.
Susiwijono menuturkan penurunan threshold omzet PPh final UMKM diperlukan agar rezim pajak UMKM yang berlaku di Indonesia menjadi lebih selaras dengan praktik pemajakan UMKM yang berlaku di negara-negara lain.
Kendati sudah menjadi pertimbangan, lanjutnya, rencana kebijakan tersebut tidak masuk dalam paket kebijakan ekonomi yang dirilis oleh pemerintah pada awal pekan ini.
"Kemarin tidak disinggung karena konteks kemarin adalah insentif untuk meringankan UMKM dalam rangka adanya pemberlakuan PPN 12% per 1 Januari 2025," tuturnya.
Jika threshold omzet PPh final UMKM benar-benar diturunkan, rencana tersebut akan dilaksanakan melalui revisi atas Peraturan Pemerintah (PP) 55/2022. Meski begitu, rencana tersebut masih perlu dikaji lebih detail.
"Kita masih belum membicarakan itu. Ini masih memerlukan kajian dan evaluasi yang lebih detail," ujar Susiwijono.
Selain topik PPh final UMKM, ada pula evaluasi World Bank perihal rendahnya penerimaan PPN di Indonesia. Ada juga ulasan mengenai perumusan peraturan PPN 12% atas barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan yang tergolong mewah.
Rekomendasi OECD terkait dengan penurunan threshold PPh final UMKM tercantum dalam OECD Economic Survey of Indonesia 2024. Menurut OECD, pemanfaatan skema PPh final UMKM dengan tarif 0,5% perlu dibatasi hanya untuk usaha kecil.
"Indonesia memiliki ruang untuk memperluas basis pajak dengan mempersempit cakupan PPh final UMKM," tulis OECD dalam laporannya.
Berdasarkan catatan Badan Kebijakan Fiskal (BKF), belanja perpajakan yang timbul akibat skema PPh final UMKM diproyeksikan mencapai Rp29,74 triliun pada tahun ini dan Rp32,1 triliun pada tahun depan. (DDTCNews/Kontan)
Pemerintah tengah merumuskan detail kebijakan mengenai pengenaan PPN sebesar 12% atas barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan yang tergolong mewah mulai 1 Januari 2025.
Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan pengenaan PPN atas barang dan jasa mewah ini bertujuan menciptakan sistem pajak yang lebih adil. Pada prosesnya, perumusan kebijakan ini tetap melibatkan kementerian terkait.
"Nanti ada semacam pembatasan yang kita sedang diskusikan di Kementerian Keuangan. Kami sedang mendiskusikan dengan kementerian pembina juga, kira-kira yang cocoklah untuk dapat diterapkan pengenaan PPN ini seperti apa," katanya. (DDTCNews)
World Bank mengungkap rendahnya penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) di Indonesia lebih banyak disebabkan oleh compliance gap, bukan policy gap.
Secara sederhana, policy gap adalah jumlah pajak yang tidak dapat dikumpulkan akibat keputusan pemerintah untuk tidak memajaki basis pajak tersebut, sedangkan compliance gap lebih disebabkan terbatasnya kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan pajak.
Dalam laporan World Bank bertajuk Indonesia Economic Prospects December 2024: Funding Indonesia's Vision 2045, policy gap PPN hanya 0,9% dari PDB, sedangkan compliance gap PPN tercatat mencapai 2,6% dari PDB. (DDTCNews)
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan setidaknya ada 3 insentif untuk industri padat karya yang akan diberikan oleh pemerintah. Pertama, PPh Pasal 21 DTP bagi pekerja dengan gaji sampai dengan Rp10 juta per bulan.
Kedua, pembiayaan industri padat karya menyangkut revitalisasi mesin untuk produktivitas dengan subsidi bunga 5%. Ketiga, bantuan sebesar 50% untuk jaminan kecelakaan kerja pada sektor padat karya selama 6 bulan.
“Untuk industri padat karya, di mana lagi-lagi yang disasar adalah pekerjanya dan industrinya juga. Ini adalah karena kita mendengar melihat, membaca, dan melihat data untuk memberikan dukungan pada industri padat karya,” kata Sri Mulyani. (DDTCNews/Kontan)
Kenaikan tarif PPN dari 11% ke 12% pada tahun depan diperkirakan akan mengerek inflasi sebesar 0,3 poin persen.
Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Pengembangan Usaha BUMN Kemenko Perekonomian Ferry Irawan mengatakan dampak kenaikan tarif PPN terhadap inflasi tidak terlalu besar mengingat mayoritas kebutuhan pokok telah dibebaskan dari PPN.
"Komponen-komponen yang besar bobotnya terhadap inflasi itu hampir semua tidak dikenakan PPN atau dibebaskan," katanya. (DDTCNews/Kontan)
Implementasi coretax administration system (CTAS) memungkinkan wajib pajak menerima notifikasi dan dokumen/formulir bukti pemotongan (bupot) pajak secara real time.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti mengatakan wajib pajak yang dikenakan pemotongan pajak bisa menerima notifikasi dan dokumen bupotnya melalui Taxpayer Portal atau akun coretax wajib pajak.
“Ada ikon berkas dan lonceng di akun coretax wajib pajak. Nanti, setiap pemilik akun yang dicolek oleh siapa pun, akan muncul notifikasi dan dokumennya. Misal, pemberi kerja menerbitkan bupot PPh Pasal 21 maka akan langsung muncul di sini,” tuturnya. (DDTCNews)