Ilustrasi. Gedung Ditjen Pajak.
JAKARTA, DDTCNews - World Bank menilai pemeriksaan yang dilakukan oleh Ditjen Pajak (DJP) masih belum mampu mengidentifikasi pengelakan pajak secara efektif. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan utama media nasional pada hari ini, Jumat (20/12/2024).
Dalam laporan bertajuk Indonesia Economic Prospects December 2024: Funding Indonesia's Vision 2045, World Bank menyebut pajak yang diperoleh dari pemeriksaan PPN dan PPh badan cenderung turun. Hal ini mencerminkan makin rendahnya jumlah pengelakan pajak yang berhasil diidentifikasi.
"Hal ini bisa jadi disebabkan oleh penurunan jumlah pemeriksaan PPN. Penurunan ini juga dapat dikaitkan dengan pandemi Covid-19 yang mendorong pemerintah untuk melakukan pelonggaran demi mendukung kegiatan usaha," tulis World Bank.
Tak hanya itu, kebanyakan pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh DJP ialah pemeriksaan rutin untuk menindaklanjuti permohonan restitusi dari wajib pajak. Adapun pemeriksaan ini harus selesai dalam waktu 12 bulan.
Akibat adanya kewajiban untuk melakukan pemeriksaan rutin tersebut, otoritas pajak tidak memiliki sumber daya yang mencukupi untuk melakukan pemeriksaan yang lebih mampu untuk menghasilkan penerimaan negara.
Sebagai informasi, wajib pajak yang mengajukan restitusi bakal diperiksa oleh DJP apabila restitusi diajukan sesuai Pasal 17B UU KUP. Pemeriksaan dilakukan dalam jangka waktu maksimal 12 bulan sejak permohonan restitusi diterima lengkap.
Selain topik pemeriksaan, ada pula ulasan mengenai wacana pengenaan cukai minuman berpemanis dalam kemasan. Lalu, ada juga bahasan mengenai ambang batas omzet yang dikenai PPh final sebesar 0,5%, fasilitas kawasan berikat untuk industri tekstil, dan lain sebagainya.
Melalui pemeriksaan, DJP juga dapat menekan nilai restitusi yang perlu dicairkan kepada wajib pajak. Dalam laporan tahunan DJP, nilai pajak yang berhasil dipertahankan pemeriksa dari permohonan restitusi disebut sebagai refund discrepancy.
"Refund discrepancy merupakan jumlah pajak yang bisa dipertahankan oleh pemeriksa pajak atas permohonan pengembalian (restitusi) yang disampaikan oleh wajib pajak melalui SPT," tulis DJP dalam Laporan Tahunan DJP 2023.
Pada 2023, nilai refund discrepancy DJP mencapai Rp22,84 triliun, tumbuh 100,8% dibandingkan dengan 2022 sejumlah Rp11,37 triliun. (DDTCNews)
Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) optimistis dapat menerapkan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) pada tahun depan.
Direktur Penerimaan dan Perencanaan Strategis DJBC Muhammad Aflah Farobi mengatakan pengenaan cukai MBDK akan tergantung pada kondisi ekonomi nasional. Namun, pemerintah terus mempersiapkan kebijakan cukai MBDK tersebut.
"Kalau melihat kondisi ekonominya, kami butuh penerimaan banyak. Itu bisa kami baca. Kami sedang mempersiapkan sangat serius," katanya. (DDTCNews/Kontan)
Pemerintah mengungkapkan rencananya untuk menurunkan ambang batas (threshold) omzet usaha yang bisa memanfaatkan tarif PPh final UMKM, dari nilai saat ini Rp4,8 miliar per tahun menjadi Rp3,6 miliar per tahun.
Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono Moegiarso menyampaikan rencana pemerintah untuk menurunkan threshold omzet PPh final UMKM dilatarbelakangi oleh adanya rekomendasi dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
"Sebenarnya rencana penurunan kan sudah sempat disampaikan oleh Bu Menkeu [Sri Mulyani Indrawati] dan Pak Menko [Airlangga Hartarto] di beberapa kesempatan karena ada semacam catatan dan rekomendasi dari OECD," ujarnya. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)
Direktur Keberatan Banding dan Peraturan DJBC Priyanto Triatmojo menyebut 1.455 perusahaan sudah menikmati fasilitas kawasan berikat yang disediakan pemerintah untuk mendukung kegiatan industri dan perdagangan.
“Dari jumlah tersebut ada sekitar 452 perusahaan yang menggunakan fasilitas kawasan berikat atau sekitar 11,6% dari jumlah perusahaan seluruh perusahaan tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional,” tuturnya.
Sebagai informasi, kawasan berikat adalah kawasan yang ditunjuk oleh pemerintah untuk kegiatan industri, pengemasan, penyimpanan, dan pengiriman barang, dengan tujuan meningkatkan efisiensi dan daya saing industri. (Kontan)
Bank Indonesia (BI) memperkirakan kenaikan tarif PPN menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 akan mendorong kenaikan inflasi yang tidak terlalu besar.
Deputi Gubernur BI Aida S. Budiman mengatakan otoritas moneter memproyeksikan inflasi pada 2025 akan sebesar 2,5% plus minus 1%. Menurutnya, kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12% bakal mendorong kenaikan inflasi sebesar 0,2 poin persen.
"Tetapi apakah ini besar? Jawabannya tidak karena hasil hitungan kami dari proyeksinya dia sekitar sedikit di atas dari 2,5% plus minus 1%, dari target inflasi kita di 2025," katanya. (DDTCNews)
Pemerintah mengubah ketentuan batas waktu penyetoran pajak atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek.
Perubahan ketentuan batas waktu tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 81/2024. Berdasarkan beleid itu, Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai pemotong pajak wajib menyetorkan PPh yang telah dipotongnya maksimal tanggal 15 bulan berikutnya.
“Penyelenggara bursa efek wajib melakukan penyetoran PPh ... ke kas negara paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir,” bunyi Pasal 245 ayat (5) PMK 81/2024. (DDTCNews)