Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. (foto Kemenkeu)
JAKARTA, DDTCNews – Para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 sepakat mendukung penerapan solusi kebijakan pajak ekonomi digital berbasis konsensus yang terdiri atas 2 pilar. Sebelumnya, 132 dari 139 negara/yurisdiksi anggota Inclusive Framework OECD/G20 juga telah sepakat.
Kesepakatan itu dicapai dalam forum pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 di bawah Presidensi Italia secara virtual pada Jumat hingga Sabtu (9—10/7/2021). Kesepakatan ini merupakan hal bersejarah yang akan mengubah platform atau arsitektur perpajakan internasional.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kesepakatan ini memperlihatkan kemampuan pendekatan multilateralisme dalam mengatasi tantangan global, khususnya terkait base erosion profit shifting (BEPS) serta persaingan tarif pajak yang tidak sehat (race to the bottom).
“Diharapkan menghadirkan sistem perpajakan internasional yang lebih adil dan inklusif,” ujarnya, dikutip dari keterangan resmi Kemenkeu, Senin (12/7/2021).
Dengan kesepakatan pilar 1, negara pasar termasuk Indonesia akan berkesempatan mendapatkan alokasi hak pemajakan atas penghasilan global yang diterima perusahaan digital global atau multinasional terbesar dan yang paling menguntungkan.
Selanjutnya, kesepakatan pada pilar 2 berfokus pada penerapan pajak minimum global untuk pemerataan dalam sistem perpajakan internasional. Adapun tarif pajak minimum global yang telah disepakati sebesar 15%.
“Bagi Indonesia, kesepakatan yang dihasilkan dari upaya yang besar ini sangat penting. Hal ini selaras dengan reformasi perpajakan yang saat ini sedang dilakukan, khususnya di area perpajakan internasional, sebagaimana diusulkan di dalam RUU KUP,” imbuh Sri Mulyani.
Selain perpajakan internasional, ada 5 agenda lain yang dibahas dalam forum 2 hari tersebut. Kelimanya adalah kondisi perekonomian dan kesehatan global, kebijakan untuk pemulihan, keuangan berkelanjutan, arsitektur keuangan internasional, dan isu-isu regulasi sektor keuangan.
Outlook perekonomian global telah menunjukkan perbaikan tapi divergen atau tidak merata, baik antarnegara maupun antarsektor dalam negara. Outlook tersebut masih dibayangi oleh downside risk. Kecepatan vaksinasi dan penyebaran varian baru virus Covid-19 sangat berpengaruh.
Negara anggota G20 menegaskan kembali untuk mencegah premature withdrawal (pengentian terlalu awal) atas dukungan kebijakan yang dilakukan dalam rangka penanganan pandemi serta mengarahkan segala upaya untuk menjaga pemulihan perekonomian. Kebijakan moneter masih akomodatif. Kebijakan fiskal masih ekspansif.
Sri Mulyani menyampaikan Indonesia berada dalam jalur pemulihan ekonomi. Dukungan kebijakan fiskal, moneter dan sektor keuangan, serta reformasi struktural adalah kunci kebijakan untuk memulihkan kembali Indonesia dengan lebih baik dan kuat.
Dalam forum tersebut, G20 juga menegaskan kembali pentingnya kerja sama internasional dalam penanganan pandemi serta pemulihan ekonomi. Kerja sama internasional di bidang kesehatan, perdagangan, dan pembiayaan sangat dibutuhkan.
Di bidang kesehatan, G20 berkomitmen untuk dapat mengontrol pandemi ini secepat mungkin melalui penguatan peran imunisasi Covid-19 sebagai global public good. G20 memprioritaskan upaya untuk memperluas akses global terhadap vaksin serta terapeutik dan diagnostik Covid-19, terutama bagi negara berkembang.
Untuk memperkuat ketahanan global terhadap pandemi di masa depan, High Level Independent Panel (HLIP) on Financing Global Commons for Pandemic Preparedness and Response menyampaikan rekomendasi pembentukan Global Health Threats Fund untuk mobilisasi pembiayaan internasional.
Selain itu, ada pula rekomendasi pembentukan Global Health Threats Board untuk memperkuat tata kelola global atas pembiayaan kesehatan. Keputusan terhadap rekomendasi-rekomendasi itu akan diambil pada pertemuan Oktober nanti.
G20 juga terus berkomitmen dalam membantu negara-negara miskin dalam penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi. G20 juga mendorong peningkatan dukungan pembiayaan oleh Bank Pembangunan Multilateral. Dalam periode April 2020 – Mei 2021, Bank Pembangunan Multilateral telah menyalurkan pembiayaan sebesar US$44,1 miliar bagi negara-negara miskin.
Untuk pemulihan ekonomi yang berdaya tahan, G20 mengingatkan pentingnya transformasi digital, investasi infrastruktur berkelanjutan (sustainable infrastructure), dan trasformasi hijau (green transformation).
Bagaimanapun pandemi telah mengakselerasi perkembangan ekonomi digital di berbagai bidang, seperti pendidikan serta kesehatan dalam bentuk telemedicine, school from home, dan work from home.
Sri Mulyani mengatakan perlunya untuk terus mengakselerasi transformasi digital dengan meningatkan investasi dan menyusun kerangka regulasi dengan didukung upaya menjaga keamanan data masyarakat, serta kesamaan perlakuan (playing field).
“Akselerasi transformasi digital akan meningkatkan produktivitas sehingga dapat menundukung percepatan pemulihan,” kata Sri Mulyani.
Menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 juga memiliki kesamaan pandangan bahwa penanganan perubahan iklim merupakan salah satu prioritas mendesak. Risiko iklim telah menjadi ancaman nyata bagi pertumbuhan dan kemakmuran global.
G20 memberikan dukungan untuk dilakukannya eksplorasi opsi bauran kebijakan dalam mendorong pembiayaan berkelanjutan (sustainable finance). Saat ini, G20 Sustainable Finance Working Group sedang menyusun G20 Sustainable Finance Roadmap.
Pandemi Covid-19 juga sekaligus menjadi ujian bagi stabilitas sistem keuangan. Financial Stability Board (FSB) menyampaikan laporan sementara mengenai pelajaran dari pandemi Covid-19 terkait stabilitas sistem keuangan.
Berkat reformasi sektor keuangan pasca-Global Finance Crisis 2008, sistem keuangan global memiliki daya tahan yang lebih baik. Namun, masih terdapat beberapa area yang memerlukan perhatian dan penyempurnaan. FSB akan menyampaikan laporan final pada Oktober 2021. (kaw)