Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat konferensi pers UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), Kamis (7/10/2021).
JAKARTA, DDTCNews - UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) mengatur kenaikan besaran sanksi denda yang harus dibayar oleh wajib pajak untuk penghentian penyidikan atas kasus faktur pajak tidak berdasarkan transaksi sebenarnya atau fiktif.
Pada Pasal 44B ayat (2) huruf c UU KUP yang diubah melalui UU HPP, penyidikan wajib pajak akibat melanggar Pasal 39A UU KUP hanya bisa dihentikan bila wajib pajak melunasi jumlah pajak pada faktur pajak dan denda 4 kali lipat dari jumlah pajak pada faktur pajak.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan sanksi administrasi denda yang dikenakan pada ketentuan sebelumnya hanya 3 kali lipat dari jumlah pajak pada faktur pajak. Dengan UU HPP, sanksi denda penghentian penyidikan tersebut menjadi lebih berat.
"Dilakukan sanksi yang lebih berat di UU HPP karena ini sudah kriminal. Orang-orang yang membuat faktur pajak fiktif sehingga dia mengambil pajak orang lain atau tidak menyetorkan kepada negara," katanya, Jumat (8/10/2021).
Meski sanksi denda atas pelanggaran Pasal 39A ditingkatkan, UU HPP ternyata menurunkan sanksi denda yang harus dibayar oleh wajib pajak yang melakukan tindak pidana perpajakan akibat kealpaan sesuai dengan Pasal 38 UU KUP.
Pada Pasal 44B ayat (2) huruf a UU KUP yang diubah dengan UU HPP, penghentian penyidikan terhadap wajib pajak yang melanggar Pasal 38 UU KUP dilakukan bila wajib pajak melunasi pokok pajak dan denda sebesar 1 kali dari pokok pajak yang kurang dibayar.
"Jadi DPR dan pemerintah memberikan gradasi agar compliance makin baik tapi tetap affordable bagi mereka yang memang tidak berniat melakukan suatu kejahatan perpajakan," ujar Sri Mulyani.
Untuk penghentian penyidikan atas wajib pajak yang melakukan tindak pidana perpajakan secara sengaja dan melanggar Pasal 39 UU KUP, wajib pajak tetap harus membayar pokok pajak ditambah dengan denda sebesar 3 kali pokok pajak yang kurang dibayar. (rig)