BERITA PAJAK HARI INI

DJP Bakal Lakukan Penyesuaian e-Faktur, Ini Alasannya

Redaksi DDTCNews | Selasa, 02 November 2021 | 08:21 WIB
DJP Bakal Lakukan Penyesuaian e-Faktur, Ini Alasannya

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) akan melakukan penyesuaian terhadap aplikasi e-faktur sebelum tarif baru pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11% berlaku mulai 1 April 2022. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (2/11/2021).

Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan penyesuaian, baik dari sisi infrastruktur maupun peraturan, perlu dilakukan agar perubahan ketentuan UU PPN dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dapat diimplementasikan tanpa hambatan.

“Infrastrukturnya tentu harus kami lakukan penyesuaian, termasuk e-faktur. Jadi, kami berusaha agar penyesuaian tarif pada 1 April [2022] berjalan smooth bagi wajib pajak dan bagi kami di administrasi perpajakan," katanya.

Baca Juga:
Meski Lewat Tenggat Waktu, DJP Minta WP OP Tetap Lapor SPT Tahunan

Adapun e-faktur adalah faktur pajak berbentuk elektronik yang dibuat melalui aplikasi atau sistem elektronik yang ditentukan dan/atau disediakan DJP. Simak pula ‘Apa Itu e-Faktur Client Desktop, Web Based, dan Host to Host?’.

Selain mengenai penyesuaian e-faktur, ada pula bahasan terkait dengan restitusi pajak. Kemudian, ada pula bahasan tentang program pengungkapan sukarela, terutama untuk wajib pajak orang pribadi yang mengungkap harta perolehan 2016—2020.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

Barang dan Jasa Bebas PPN

Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan salah satu perubahan ketentuan UU PPN dalam UU HPP yang akan berdampak pada sistem administrasi adalah berpindahnya barang dan jasa dari kelompok dikecualikan ke dalam kelompok dibebaskan dari PPN.

Baca Juga:
Catat! Layanan Tempat dan Peralatan Golf Kena PPN, Bukan Pajak Hiburan

Implikasinya, pengusaha kena pajak (PKP) yang menyerahkan barang dan jasa yang dibebaskan dari PPN berpotensi harus membuat faktur pajak. Meski demikian, DJP menjamin beban administrasi yang timbul tidak akan terlalu besar.

"Karena sekarang dibebaskan maka semuanya membuat faktur pajak atas setiap jasa keuangan? Tidak akan seperti itu. Kami mengambil contoh seperti perusahaan listrik atau air yang selama ini dibebaskan, toh tidak harus membuat faktur pajak,” ujar Hestu. (DDTCNews)

Restitusi Pajak

Realisasi pencairan restitusi pajak hingga akhir September 2021 senilai Rp160,75 triliun. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan nilai tersebut tumbuh 12,27% secara tahunan.

Baca Juga:
Kejar Penerimaan Pajak, Pemkot Bakal Sambangi Kelurahan Satu Per Satu

Restitusi masih didominasi PPN dalam negeri senilai Rp107,25 triliun yang mencatatkan pertumbuhan 9,29%. Sisanya berasal dari restitusi pajak penghasilan (PPh) Pasal 25/29 badan senilai Rp45,51 triliun, atau naik 17,2% secara tahunan.

Adapun secara kumulatif selama Januari sampai dengan September 2021, ketiga jenis restitusi meningkat. Pertama, realisasi restitusi normal tumbuh 4,79%. Kedua, restitusi dipercepat tumbuh 28,67%. Ketiga, restitusi yang bersumber dari upaya hukum tumbuh 13,86% secara tahunan. (Kontan)

Kena Tarif PPh Final 30% dan Sanksi Bunga

UU HPP memuat ketentuan tentang perlakuan atas harta perolehan 2016—2020 yang belum atau kurang diungkapkan peserta program pengungkapan sukarela.

Baca Juga:
Sisir Tempat-Tempat Usaha, Pemda Cari Wajib Pajak Baru

Berdasarkan pada Pasal 11 ayat (2) UU HPP, jika dirjen pajak menemukan data dan/atau informasi lain mengenai harta yang belum atau kurang diungkapkan, nilai harta bersih tersebut diperlakukan sebagai penghasilan yang bersifat final pada tahun pajak 2022.

Adapun terhadap penghasilan tersebut akan dikenai PPh final 30%. Selain PPh final, akan ada sanksi administratif berupa bunga sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (2) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). DJP akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). Simak ‘Ikut PPS tapi Ada Harta yang Belum Diungkap, Kena PPh 30% dan Sanksi’. (DDTCNews)

Permohonan Pemindahbukuan

DJP menegaskan hingga saat ini, permohonan pemindahbukuan (Pbk) belum dapat dilakukan secara online melalui laman tertentu. Sesuai dengan PMK 242/2014, permohonan Pbk diajukan ke kantor DJP tempat pembayaran diadministrasikan. Langkah tersebut dilakukan dengan mengajukan surat permohonan Pbk.

Baca Juga:
Reformasi Pajak, Menkeu Jamin Komitmen Adopsi Standar Pajak Global

“Permohonan pemindahbukuan dapat disampaikan secara langsung atau melalui pos atau jasa pengiriman ke KPP tempat pembayaran diadministrasikan. Sampai saat ini permohonan pemindahbukuan belum dapat dilakukan secara online melalui laman tertentu,” cuit akun @kring_pajak.

Namun demikian, jika ingin menyampaikan permohonan tersebut melalui surat elektronik (surel) resmi KPP, wajib pajak perlu melakukan konfirmasi terlebih dahulu. Konfirmasi dilakukan untuk mengetahui diperbolehkan atau tidaknya penyampaian permohonan Pbk melalui surel. (DDTCNews)

Tinjau Ulang Insentif Pajak

Pemerintah akan meninjau ulang insentif pajak yang selama ini bertujuan untuk menarik investasi dan diberikan kepada korporasi multinasional.

Baca Juga:
Apa Itu PBJT Jasa Parkir dan Retribusi Parkir?

Dengan diaturnya ketentuan pajak korporasi minimum global sebesar 15% pada Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE), insentif pajak yang menimbulkan pengenaan pajak lebih rendah dari tarif minimum tak bisa diberikan.

"Sebab, kalaupun mengenakan tarif pajak lebih rendah dari tarif minimum tadi, negara lain akan mengenakan pajak tambahan hingga mencapai tarif minimum," tulis Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dalam keterangan resminya.

Meski harus mengubah insentif, Pilar 2 diperkirakan akan meningkatkan penerimaan pajak. BKF memandang Pilar 2 akan membantu Indonesia meningkatkan penerimaan pajak yang sebelumnya terhambat oleh penghindaran pajak dan adanya tarif pajak yang rendah. Simak ‘Indonesia Bakal Pastikan Konvensi Pajak Global Diteken 2022’. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)

Baca Juga:
Setoran PPN-PPnBM Kontraksi 16,1 Persen, Sri Mulyani Bilang Hati-Hati

PMI Manufaktur Indonesia

IHS Markit mencatat Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada Oktober 2021 mencapai 57,2, naik dari posisi 52,2 pada September 2021, sekaligus memecahkan rekor tertinggi sepanjang sejarah.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan data PMI manufaktur tersebut menggambarkan kondisi usaha yang terus membaik di seluruh sektor manufaktur Indonesia. PMI manufaktur sempat turun ke level 43,7 pada Agustus 2021. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia) (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Sabtu, 27 April 2024 | 09:00 WIB KEPATUHAN PAJAK

Meski Lewat Tenggat Waktu, DJP Minta WP OP Tetap Lapor SPT Tahunan

Jumat, 26 April 2024 | 18:30 WIB KABUPATEN BEKASI

Sisir Tempat-Tempat Usaha, Pemda Cari Wajib Pajak Baru

BERITA PILIHAN
Sabtu, 27 April 2024 | 09:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

RKP 2025 Disusun Meski RPJPN Belum Diundangkan, Ini Alasan Bappenas

Sabtu, 27 April 2024 | 09:00 WIB KEPATUHAN PAJAK

Meski Lewat Tenggat Waktu, DJP Minta WP OP Tetap Lapor SPT Tahunan

Sabtu, 27 April 2024 | 07:30 WIB PERTUMBUHAN EKONOMI

Sri Mulyani Proyeksikan Ekonomi RI Tumbuh 5,17% di Kuartal I/2024

Jumat, 26 April 2024 | 17:30 WIB REFORMASI PAJAK

Reformasi Pajak, Menkeu Jamin Komitmen Adopsi Standar Pajak Global

Jumat, 26 April 2024 | 17:00 WIB KAMUS PAJAK DAERAH

Apa Itu PBJT Jasa Parkir dan Retribusi Parkir?

Jumat, 26 April 2024 | 16:45 WIB KEBIJAKAN KEPABEAN

Impor Barang Kiriman? Laporkan Data dengan Benar agar Tak Kena Denda

Jumat, 26 April 2024 | 16:30 WIB PENERIMAAN PAJAK

Setoran PPN-PPnBM Kontraksi 16,1 Persen, Sri Mulyani Bilang Hati-Hati