Director Fiscal Research &Â Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji.
JAKARTA, DDTCNews - Selama 3 tahun terakhir, pemerintah telah beberapa kali mengubah ketentuan perpajakan guna meningkatkan kinerja penerimaan. Director Fiscal Research & Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji mengungkapkan perubahan ketentuan pajak tersebut ikut berdampak kepada berbagai sektor usaha, termasuk pertambangan.
Perubahan aturan yang cukup krusial, misalnya, mengenai pajak atas natura dan/atau kenikmatan yang tertuang dalam UU 7/2021 dan PP 55/2022. Namun, 2 beleid tersebut nampaknya belum cukup memberikan kepastian mengenai implementasi pemajakan atas natura dan/atau kenikmatan.
"Kita berharap PP 55/2022 memberikan kepastian, tapi ternyata masih terdapat ketidakpastian dari sisi objeknya. Tetap menganut negative list," katanya dalam acara MiningTalk Series Vol.21, Rabu (5/4/2023).
Bawono mengatakan ketentuan pajak atas natura dan kenikmatan dapat disebut sebagai game changer bagi sistem pajak di Indonesia. Ketentuan ini perlu menjadi perhatian, khususnya bagi pelaku usaha di sektor pertambangan yang banyak memberikan natura dan kenikmatan kepada pegawai yang bekerja di site atau lapangan.
Menyusul PP 55/2022, pemerintah sebenarnya masih akan menerbitkan peraturan menteri keuangan (PMK) yang mengatur secara terperinci tentang pemajakan atas imbalan berupa natura dan kenikmatan. Namun, kepastian perilisannya masih perlu ditunggu.Â
Bawono turut menyoroti sejumlah aspek yang berpotensi memunculkan interpretasi ganda. Selain soal objek, multi-interpretasi juga dapat terjadi dalam menentukan biaya menagih, mendapatkan, dan memelihara penghasilan (3M) yang bersifat deductible atau non-deductible.
Aspek lain yang perlu menjadi perhatian di sektor pertambangan adalah pembebanan biaya spareparts. Hingga saat ini, belum ada ketentuan pajak yang mengaturnya secara spesifik. Misalnya dalam perlakuan biaya spareparts, apakah dibiayakan sekaligus atau dibebankan melalui metode penyusutan.
"Multi interpretasi dalam menentukan perlakuan biaya spareparts pun dapat terjadi sehingga berpotensi menimbulkan sengketa," kata Bawono.
Sebetulnya, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 16 telah memiliki ketentuan yang lebih spesifik dan memudahkan dalam penentuan perlakuan biaya spareparts. Bawono mengusulkan ada baiknya pemerintah mengintegrasikan antara ketentuan dalam PSAK Nomor 16 dengan ketentuan pajak.
Demikian pula soal penentuan kelompok masa manfaat aktiva tetap. Sampai kini, masih terdapat area abu-abu karena kolom jenis usaha dan harta pada lampiran PMK 96/2009 belum mengatur jenis harta secara spesifik.
Berdasarkan kondisi tersebut, perlu ada ketentuan pajak yang mengatur jenis harta dan jenis usaha secara spesifik. Tujuannya, menghilangkan subjektivitas antara wajib pajak dan otoritas saat memerinci jenis harta di setiap kelompok penyusutan, serta membuat panduan dalam menentukan kelompok masa manfaat.
"Dengan adanya momentum dari PP 55/2022 ini, sebenarnya revisi PMK 96/2009 menjadi dimungkinkan," ujar Bawono.
Selanjutnya, Bawono juga menyinggung masih ada isu lain yang perlu dicermati di sektor pertambangan, yakni soal pengenaan pajak alat berat yang diatur dalam UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Pemajakan atas alat berat bakal berlaku mulai 1 Januari 2024, tetapi PP yang menjelaskan lebih detail tentang desain kebijakan ini belum terbit.
Bawono memberi catatan tentang pajak alat berat ini. Apabila ditilik ke belakang, pajak alat berat memiliki area ketidakpastian yang tinggi. Pada periode 2012-2022, terdapat 554 putusan pengadilan pajak yang berkaitan dengan sengketa pajak daerah.
Dari angka tersebut, 388 di antaranya bersinggungan dengan pajak kendaraan bermotor terkait alat berat dan/atau alat besar.
Kemudian, isu lain yang perlu jadi sorotan adalah seringnya terjadi sengketa mengenai pajak internasional di sekor pertambangan. Melalui PP 55/2022, Bawono mengingatkan, telah diatur instrumen antipenghindaran pajak yang lebih kuat dan beragam.
Instrumen antipenghindaran pajak dalam PP 55/2022 secara umum dapat dikategorikan menjadi 3 jenis. Pertama, yang bersifat penegasan dan menciptakan kepastian hukum karena sebelumnya diatur dalam produk hukum di bawah PP seperti ketentuan Controlled Foreign Company (CFC) rules.
Kedua, membuka ruang modifikasi aturan seperti ketentuan atas pembatasan biaya bunga yang bisa dilakukan dengan metode selain debt to equity ratio.
Ketiga, tiga instrumen yang baru diperkenalkan. Ketiganya yaitu prinsip substance over form, hybrid mismatch arraangement, serta pembandingan kinerja keuangan bagi wajib pajak yang rugi fiskal selama 3 tahun berturut-turut.
"Ini rezim baru instrumen pencegahan penghindaran pajak yang perlu menjadi perhatian. Ada 3 hal yang baru," imbuhnya. (sap)