Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Dalam laman resminya, Ditjen Pajak (DJP) memberikan penjelasan mengenai penegakan hukum perpajakan.
DJP mengatakan penegakan hukum perpajakan terbagi menjadi 2, yakni penegakan hukum administratif dan penegakan hukum pidana. Penegakan hukum administratif dilakukan untuk menguji kepatuhan wajib pajak sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan
“Sedangkan penegakan hukum pidana pajak dilakukan dalam rangka penyidikan dugaan tindak pidana di bidang perpajakan,” tulis DJP dalam laman resminya, dikutip pada Kamis (30/3/2023).
DJP mengatakan atas pelanggaran administratif akan dikenai sanksi administratif berupa denda, bunga, atau kenaikan. Sementara itu, atas pelanggaran pidana akan dikenai sanksi pidana berupa pidana penjara, pidana kurungan, dan/atau pidana denda.
“Penegakan hukum administratif memiliki titik taut dengan penegakan hukum pidana jika dalam penegakan hukum administratif ditemukan indikasi tindak pidana di bidang perpajakan,” imbuh DJP.
Penegakan hukum pidana di bidang perpajakan memiliki fungsi memberikan efek gentar kepada calon pelaku serta efek jera terhadap pelaku. Hal ini, sambung DJP, akan bermuara ke tingkat kepatuhan pajak dan pengumpulan penerimaan negara melalui pemulihan kerugian pada pendapatan negara.
Dalam penegakan hukum pidana, wajib pajak diberikan kesempatan untuk menghindari sanksi pemidanaan (ultimum remedium). Asas ini bisa diterapkan pada tahap pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, setelah penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti ke penuntut umum, serta persidangan.
Pada tahap pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan—sebelum surat pemberitahuan dimulainya penyidika (SPDP) disampaikan ke penuntut umum melalui Korwas PPNS—, ultimum remedium diimplementasikan dalam bentuk pembayaran pokok pajak dan sanksi administratif Pasal 8 ayat (3a) UU KUP sebesar 100%.
Pada tahap penyidikan—setelah SPDP disampaikan ke penuntut umum melalui Korwas PPNS—sampai dengan tahap persidangan, ultimum remedium diimplementasikan dalam bentuk pembayaran pokok pajak dan sanksi administratif Pasal 44B ayat (2) UU KUP sebesar 100% untuk kealpaan, 300% untuk kesengajaan, dan 400% untuk faktur pajak fiktif.
“Hak wajib pajak untuk memanfaatkan ultimum remedium ini disampaikan oleh penyidik pajak dan penuntut umum sejak tahap pemeriksaan bukti permulaan sampai dengan tahap persidangan,” imbuh DJP. (kaw)