Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Penyesuaian ketentuan pajak penghasilan (PPh) kembali dilakukan pemerintah melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) 55/2022. Diundangkannya beleid baru sebagai aturan turunan UU 7/2021 tentang HPP ini menjadi topik yang paling banyak diperbincangkan netizen dalam sepekan terakhir.
Salah satu ketentuan yang diatur kembali dalam PP 55/2022 adalah pengenaan pajak atas imbalan dalam bentul natura dan/atau kenikmatan. Merujuk pada Pasal 30 PP 55/2022, natura dan/atau kenikmatan merupakan objek PPh.
"Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan merupakan objek pemotongan PPh. Pemotongan dilakukan bersamaan dan dalam satu kesatuan dengan pemotongan PPh atas imbalan dalam bentuk uang," bunyi pasal penjelas dari Pasal 30 PP 55/2022.
Meski demikian, perlu dicatat, pemberi kerja untuk tahun pajak 2022 masih belum memiliki kewajiban untuk melakukan pemotongan PPh atas natura dan kenikmatan yang diterima oleh pegawai.
Pemberi kerja baru memiliki kewajiban untuk memotong PPh atas imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan yang diterima atau diperoleh pegawai sejak tanggal 1 Januari 2023. Menurut pemerintah, pemberi kerja perlu diberi waktu untuk menyiapkan sistem pemotongan PPh.
"Perlu diberikan waktu kepada pemberi kerja ... sebagai pemotong PPh untuk menyiapkan atau menyesuaikan sistem pemotongan PPh agar dapat melaksanakan kewajiban pemotongan dengan baik," bunyi Pasal 73 ayat (2) PP 55/2022
Implikasinya, penerima imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan memiliki kewajiban untuk menghitung dan membayar sendiri PPh yang terutang atas natura dan kenikmatan yang diterima pada 2022. Natura dan kenikmatan harus dilaporkan dalam SPT Tahunan 2022.
Bila pemberi kerja menyelenggarakan pembukuan tahun buku 2022 dimulai sebelum 1 Januari 2022 maka natura dan kenikmatan sudah menjadi objek PPh bagi penerima mulai 1 Januari 2022. Baca 'Mulai 2023, Pemberi Kerja Wajib Potong Pajak Penghasilan atas Natura'.
Masih dalam lingkup ketentuan yang diatur dalam PP 55/2022, pemerintah mengatur kembali batas peredaran bruto atau omzet tidak kena pajak bagi pelaku UMKM.
Pasal 60 PP 55/2022 menyatakan UMKM orang pribadi dengan omzet sampai dengan Rp500 juta dalam setahun tidak akan terkena pajak. Melalui fasilitas itu, UMKM orang pribadi yang omzetnya tidak melebihi angka tersebut tidak perlu membayar PPh final yang tarifnya 0,5%.
"Wajib pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu ... atas bagian peredaran bruto dari usaha sampai dengan Rp500 juta dalam 1 tahun pajak tidak dikenai pajak penghasilan," bunyi Pasal 60 ayat (2) PP 55/2022.
Pasal 60 ayat (3) PP 55/2022 menyatakan bagian omzet dari usaha tidak dikenai PPh merupakan jumlah peredaran bruto dari usaha yang dihitung secara kumulatif sejak masa pajak pertama dalam suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak.
Kemudian, peredaran bruto yang dijadikan dasar pengenaan pajak dan jumlah peredaran bruto dari usaha yang dihitung secara kumulatif merupakan imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis.
Baca 'PP 55/2022, Pemerintah Atur Batas Omzet Rp500 Juta Tidak Kena Pajak'.
Selain 2 topik di atas, masih ada beberapa isu lain yang juga menarik banyak minat pembaca. Berikut ini adalah 5 artikel perpajakan terpopuler yang sayang untuk dilewatkan:
1. Aturan Tarif Cukai Rokok Elektrik dan HPTL pada 2023-2024 Resmi Terbit
Pemerintah telah menerbitkan ketentuan mengenai tarif cukai dan batasan harga jual eceran (HJE) produk rokok elektrik (REL) serta hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) pada 2023 dan 2024.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menerbitkan PMK 192/2022 yang menyatakan PMK 193/2021 perlu diubah dan disempurnakan dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di bidang tarif cukai hasil tembakau (CHT). Kebijakan soal tarif cukai REL dan HPTL juga sudah dibahas bersama DPR.
"Pemerintah bersama dengan DPR telah menyepakati target penerimaan cukai tahun 2023 pada tanggal 29 September 2022 dan alternatif kebijakan dalam mengoptimalkan upaya pencapaian target penerimaan tahun 2023 dan tahun 2024 pada tanggal 12 Desember 2022," bunyi salah satu pertimbangan PMK 192/2022.
2. Masih Pakai Sertel Lama? WP Perlu Perbarui Sertel Sesuai PMK 63/2021
Wajib pajak perlu memperbarui sertifikat elektronik (sertel) bila masih menggunakan sertifikat elektronik 'versi lama' yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 147/2017.
Pada beleid terbaru, yakni PMK 63/2021, dijelaskan bahwa sertifikat elektronik yang dikeluarkan berdasarkan PMK 147/2017 hanya berlaku hingga akhir tahun ini.
"Sertifikat elektronik yang dikeluarkan oleh dirjen pajak sebagaimana diatur dalam PMK 147/2017 tetap berlaku sampai dengan paling lambat tanggal 31 Desember 2022," bunyi Pasal 12 angka 1 huruf a PMK 63/2021.
3. Jokowi Segera Rilis Keppres Penyetopan PPKM, Kajian Rampung Pekan Ini
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan rencananya untuk menghentikan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) pada akhir tahun ini.
Jokowi menyampaikan pemerintah masih merampungkan seluruh kajian dan kalkulasi terkait dengan seluruh aspek yang menentukan status PPKM. Pemerintah juga mempertimbangkan sejauh mana penanganan Covid-19 selama ini. Hasil kajian ditargetkan bisa selesai pekan ini.
"Saya memberikan target minggu ini harusnya kajian dan kalkulasi itu sudah sampai ke meja saya sehingga bisa saya siapkan nanti Keputusan Presiden [Keppres] mengenai penghentian PSBB-PPKM," kata Jokowi di Istana Merdeka.
4. Bank Indonesia Kembali Naikkan Suku Bunga Acuan, Jadi 5,5%
Melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan ini, Bank Indonesia (BI) kembali memutuskan untuk meningkatkan BI 7-Days Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps dari 5,25% menjadi 5,5%.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan suku bunga acuan kembali dinaikkan untuk terus menekan ekspektasi inflasi.
"Keputusan kenaikan suku bunga yang lebih terukur tersebut sebagai langkah lanjutan untuk secara front loaded, pre-emptive, dan forward looking memastikan terus berlanjutnya penurunan ekspektasi inflasi dan inflasi sehingga inflasi inti tetap terjaga dalam kisaran 3%±1%," ujar Perry.
5. Aturan Teknis Soal Sertel 2023 Belum Tersedia, WP Diminta Menunggu
Ditjen Pajak (DJP) meminta para wajib pajak untuk menunggu penerbitan aturan teknis mengenai sertifikat elektronik dan kode otorisasi DJP berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 63/2021.
Berdasarkan PMK tersebut, telah diatur bahwa sertifikat elektronik versi PMK 147/2017 hanya bisa digunakan hingga 31 Desember 2022. Artinya, sertifikat elektronik perlu segera diperbarui sebelum pergantian tahun.
"Perihal implementasi lebih lanjut (tata cara penggunaan, permohonan dan/atau perpanjangan) sertifikat elektronik dan kode otorisasi DJP setelah 31 Desember 2022 nanti, mohon kesediaannya menunggu aturan pelaksanaannya terlebih dahulu," tulis DJP dalam akun Twitter @kring_pajak. (sap)