Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah kembali menyosialisasikan penggunaan aplikasi M-Pajak bagi wajib pajak orang pribadi pelaku UMKM. Aplikasi ini pun terus dikembangkan untuk menyesuaikan ketentuan perpajakan terbaru. Salah satunya, berkaitan dengan adanya omzet tidak kena pajak sampai dengan Rp500 juta bagi UMKM yang menjalankan kewajiban pajak sesuai PP 23/2018.
Ditjen Pajak (DJP) tengah melakukan pengembangan aplikasi M-Pajak dengan menyesuaikan skema perhitungan pada fasilitas kalkulator pajak terutang. Nantinya, kalkulator M-Pajak akan ikut memperhitungkan threshold atau batas omzet tidak kena pajak Rp500 juta yang dilaporkan oleh wajib pajak.
"Saat ini masih dilakukan pengembangan agar kalkulator [di M-Pajak] juga dapat memperhitungkan threshold itu dengan tetap mempertimbangkan data konkret yang wajib pajak laporkan," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor.
Fitur perhitungan PPh pada aplikasi M-Pajak dapat digunakan pada menu Pencatatan UMKM. Dalam menu itu, UMKM dimudahkan dalam mencatat dan memperhitungkan jumlah PPh yang harus dibayar berdasarkan PP 23/2018.
UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) mengatur ketentuan wajib pajak orang pribadi UMKM—yang membayar pajak memakai skema PPh final UMKM—akan mendapatkan fasilitas batas omzet tidak kena pajak senilai Rp500 juta.
Dengan fasilitas itu, UMKM yang omzetnya hingga Rp500 juta dalam setahun tidak perlu membayar PPh final dengan tarif 0,5%. Jika UMKM memiliki omzet melebihi Rp500 juta maka penghitungan pajaknya hanya dilakukan pada omzet yang di atas Rp500 juta.
Apa manfaat lain dari fitur pencatatan M-Pajak? Baca artikel lengkapnya, Ada Aturan Omzet Tak Kena Pajak, DJP Modifikasi Kalkulator M-Pajak.
Selanjutnya, ada topik tentang pengawasan pajak yang juga ramai dibicarakan netizen sepanjang pekan ini. DJP tengah mengoptimalkan kegiatan pengawasan terhadap 4 sektor usaha yang memiliki kinerja positif sepanjang sisa tahun berjalan ini.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan keempat sektor tersebut meliputi pertambangan, industri pengolahan, perdagangan, dan transportasi. Menurutnya, optimalisasi pengawasan akan dilakukan dalam 2,5 bulan menjelang tutup buku.
"Kami tentu mengandalkan atau mencari sektor-sektor yang dirasa menjadi atau mendapatkan benefit atau winner dalam proses atau dalam beberapa waktu terakhir ini," katanya.
Yon menyebut optimalisasi pengawasan perlu dilakukan pada wajib pajak dari sektor-sektor strategis yang telah pulih dari pandemi Covid-19. Menurutnya, pemulihan kinerja juga dapat tercermin dari setoran pajak yang dibayarkan kepada DJP.
Lantas seperti apa mekanisme pengawasan yang dilakukan otoritas terhadap keempat sektor usaha tersebut? Simak artikelnya, DJP Bakal Optimalkan Pengawasan, Khususnya terhadap 4 Sektor Usaha Ini.
Selain 2 topik di atas, masih ada beberapa isu lain yang juga menarik untuk disimak. Berikut ini adalah 5 artikel DDTCNews lainnya yang sayang untuk dilewatkan:
1. Sri Mulyani Tidak Akan Sesuaikan Threshold PKP dalam Waktu Dekat
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut pemerintah tidak sedang membahas perubahan kebijakan pajak, termasuk penurunan threshold atau batas nilai penghasilan bagi pengusaha kena pajak (PKP), dalam waktu dekat ini.
Sri Mulyani menjelaskan pemerintah saat ini lebih fokus untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi. Terlebih, situasi ekonomi global saat ini masih belum pasti sehingga perlu mitigasi yang tepat untuk menghadapi tantangan tersebut.
"Jadi berbagai threshold itu tadi tidak dibahas dan tidak kami pikirkan saat ini. Kami akan menjaga secara steady perekonomian kita yang momentumnya sedang baik dan positif," katanya.
2. Resmi! Pemerintah Akhirnya Terbitkan UU Pelindungan Data Pribadi
Pemerintah resmi menerbitkan UU 27/2022 tentang Pelindungan Data Pribadi yang mewajibkan setiap pengendali data pribadi, termasuk instansi pemerintahan, melindungi dan memastikan keamanan data pribadi.
Guna memastikan terlaksananya kewajiban tersebut, pengendali data pribadi berkewajiban menunjuk pejabat atau petugas khusus yang melaksanakan fungsi pelindungan data pribadi sesuai dengan UU Pelindungan Data Pribadi (PDP)
"Pejabat atau petugas yang melaksanakan fungsi pelindungan data pribadi adalah pejabat atau petugas yang bertanggung jawab untuk memastikan pemenuhan kepatuhan atas prinsip pelindungan data pribadi dan mitigasi pelanggaran pelindungan data pribadi," bunyi ayat penjelas Pasal 53 ayat (1) UU PDP.
3. Bersiap! Sri Mulyani Sebut Ancaman Resesi dan Inflasi Bisa Sampai 2024
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan ancaman resesi dan kenaikan inflasi global dapat berlanjut hingga 2 tahun ke depan.
Sri Mulyani mengatakan risiko yang dihadapi negara-negara dunia kini bergeser dari pandemi menjadi gejolak ekonomi. Menurutnya, risiko yang menantang harus diwaspadai semua negara, termasuk Indonesia.
"Ini adalah konteks yang sedang dan akan terus kita kelola hari ini dan tahun 2023, dan bahkan kemarin pembahasan persoalan kompleks ini akan berlanjut pada 2024," katanya.
4. Integrasi NIK sebagai NPWP, DJP Ungkap Lagi Manfaatnya
Ditjen Pajak (DJP) menilai integrasi nomor induk kependudukan (NIK) pada KTP sebagai nomor pokok wajib pajak (NPWP) akan memberikan manfaatkan bagi otoritas dan wajib pajak.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan akan membuat administrasi pajak lebih efektif dan efisien. Hal itu juga akan membuat wajib pajak lebih mudah menjalankan kewajiban perpajakannya.
"Penggunaan NIK sebagai NPWP merupakan upaya kami di Ditjen Pajak untuk terus meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak sehingga memudahkan wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya secara baik dan benar," katanya dalam seminar nasional dengan tema Integrasi NIK Menjadi NPWP, Apa Implikasinya bagi Wajib Pajak UMKM?.
5. PKP Pedagang Eceran, Ditjen Pajak: Tidak Lagi Lihat KLU-nya
DJP menegaskan kembali penentuan pengusaha kena pajak (PKP) pedagang eceran bukan berdasarkan pada klasifikasi lapangan usaha (KLU).
Fungsional Penyuluh Pajak Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Iqbal Rahadian menjelaskan penentuan PKP pedagang eceran berdasarkan pada transaksi penyerahan barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP) kepada pembeli dengan karakteristik konsumen akhir.
“Dalam UU Cipta Kerja itu tidak lagi melihat KLU-nya. Kita melihat kepada siapa barang atau itu disampaikan, yaitu konsumen akhir,” ujarnya dalam Tax Live. (sap)