Managing Partner DDTC Darussalam dalam diskusi yang diselenggarakan oleh PPPK. (tangkapan layar)
JAKARTA, DDTCNews - Perkembangan teknologi dan digitalisasi administrasi perpajakan dinilai bakal mengubah cara kerja konsultan pajak serta jasa-jasa yang ditawarkan oleh para pelaku profesi tersebut kepada wajib pajak.
Managing Partner DDTC Darussalam mengungkapkan dahulu hubungan antara otoritas pajak dan wajib pajak lebih bersifat konfrontatif. Hal tersebut disebabkan tidak adanya data yang bisa dijadikan pijakan oleh kedua belah pihak. Sementara pada masa mendatang dengan adanya digitalisasi, hubungan antara otoritas pajak dan wajib pajak akan bergeser menjadi kooperatif.
"Hubungan wajib pajak dan otoritas harus bersifat kooperatif karena semua sudah transparan. Cuma, transparansi yang diberikan wajib pajak harus diganjar oleh otoritas pajak dengan kepastian hukum," ujar Darussalam dalam webinar yang diselenggarakan oleh Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK) dengan tajuk Penerapan Ekonomi Digital: Penguatan dan Peran Konsultan Pajak dalam Praktik, Kamis (13/10/2022).
Bila transparansi perpajakan benar-benar mampu menciptakan kepastian hukum bagi wajib pajak, Darussalam meyakini jasa konsultan pajak yang berkaitan dengan sengketa akan tergerus.
Saat ini, ujar Darussalam, konsultan pajak masih lebih banyak menawarkan jasa-jasa terkait dengan sengketa dan audit. Seiring dengan digitalalisasi yang makin berkembang, jasa konsultan pajak yang berkaitan dengan riset dan advisory akan lebih dibutuhkan oleh wajib pajak. Dengan digitalisasi, konsultan pajak akan lebih banyak mengambil peran dalam membantu wajib pajak untuk menjadi patuh sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
"Ke depan, konsultan pajak memberikan advisory terkait dengan tindakan-tindakan sebelum adanya pemeriksaan. Ketika ada otoritas pajak datang, kita sudah tidak ada apa-apa. Itu jasa-jasa yang paling dibutuhkan," ujar Darussalam.
Darussalam mengatakan di negara-negara maju dengan kepastian hukum pajak yang tinggi, konsultan pajak lebih banyak memberikan jasa yang bersifat advisory dan riset guna membantu wajib pajak menjaga kepatuhan.
"Konfrontasi itu masa lalu harusnya. Ke depan seharusnya DJP bekerja bagaimana kepastian ini ada agar dispute itu cuma satu-dua. Itu yang terjadi di negara-negara dengan kepastian hukum tinggi," ujar Darussalam.
Guna menyiapkan konsultan pajak dengan keahlian yang sesuai dengan kebutuhan pada era digital, terdapat beberapa hal yang menurut Darussalam harus dilakukan oleh setiap stakeholder. Salah satunya, pembaruan kurikulum perpajakan di perguruan tinggi.
Darussalam mengatakan pajak memiliki sifat multidisiplin. Dengan demikian, pajak harus diajarkan dan didalami oleh beragam fakultas di universitas. Pemerintah perlu mengambil peran dalam pendirian program studi pajak dengan pendekatan multidisiplin ilmu.
"Pajak itu terdiri dari ekonomi, hukum, akuntansi, dan administrasi. Minimal 4 fakultas harus bergabung untuk memberikan program studi pajak, ini belum ada di Indonesia," ujar Darussalam. (sap)