Ilustrasi. Gedung Badan Kebijakan Fiskal (BKF).
JAKARTA, DDTCNews – Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mengeklaim pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini tergolong resilien dibandingkan dengan negara lain.
Kepala BKF Febrio Kacaribu mengatakan Indonesia merupakan salah satu dari sedikit negara yang dapat mengembalikan kinerja ekonomi ke level prapandemi sejak 2021. Tahun ini, pemerintah menargetkan PDB tumbuh 4,8% hingga 5,5%.
"Perekonomian Indonesia terus menunjukkan resiliensi di tengah gejolak global yang terjadi. Kinerja ekonomi domestik tahun ini juga terus menguat antara lain didukung situasi pandemi yang terus terkendali," katanya dalam keterangan resmi, Kamis (9/6/2022).
Proyeksi pemerintah juga tidak berbeda jauh dengan lembaga internasional, seperti World Bank. Institusi keuangan yang bermarkas di AS tersebut memperkirakan perekonomian Indonesia tumbuh 5,1% pada tahun ini dan 5,3% pada tahun depan.
Berdasarkan catatan World Bank, kenaikan harga komoditas mampu mendukung pertumbuhan ekonomi negara-negara eksportir komoditas di Asia Timur dan Pasifik, seperti Indonesia dan Malaysia.
"Negara eksportir komoditas diekspektasikan akan mengungguli negara importir komoditas berkat membaiknya neraca perdagangan," tulis World Bank dalam laporan Global Economic Prospects edisi Juni 2022.
Menurut World Bank, kenaikan harga komoditas diperkirakan akan meningkatkan kinerja pendapatan Indonesia. Tren tersebut diekspektasikan bakal mendukung konsolidasi fiskal yang telah direncanakan oleh pemerintah.
Walaupun kenaikan harga komoditas berpotensi membawa berkah terhadap perekonomian negara-negara eksportir komoditas, World Bank tetap melihat potensi adanya dampak kenaikan harga terhadap inflasi.
"Permintaan domestik diekspektasikan melemah akibat kenaikan inflasi dan pengetatan kebijakan moneter," tulis World Bank.
World Bank juga menyinggung isu ketidakpastian geopolitik di Ukraina. Menurut World Bank, isu tersebut dapat menimbulkan dampak buruk bila terus berlanjut, mulai dari pelemahan permintaan global, peningkatan biaya logistik, hingga gangguan arus perdagangan.
Selain itu, tekanan harga yang terus menerus, baik dari komoditas pangan maupun komoditas energi, dan adanya gangguan rantai pasok global berpotensi mendorong pengetatan moneter yang lebih cepat dari perkiraan.
Apabila pengetatan moneter dilakukan oleh negara maju maka arus keluar modal dari negara Asia Timur dan Pasifik pasti akan terjadi. Pada gilirannya, kondisi tersebut menekan nilai tukar mata uang domestik, sekaligus mendorong inflasi. (rig)