Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu dalam Seminar on Strategic Issues in G-20: Exit Strategy & Scarring Effect.
JAKARTA, DDTCNews - Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu menilai agenda penanganan isu perubahan iklim membutuhkan partisipasi semua negara di dunia.
Febrio mengatakan Indonesia memiliki peran besar dalam penurunan emisi karbon. Menurutnya, pendanaan dari dunia internasional diperlukan karena dampak positif dari penurunan emisi juga akan dirasakan secara global.
"Biaya yang dibutuhkan untuk agenda climate change seharusnya biaya global, bukan hanya Indonesia. Logika ini sedang dibangun di G-20, working group-nya Sustainable Finance," katanya dalam Seminar on Strategic Issues in G-20: Exit Strategy & Scarring Effect, dikutip pada Jumat (18/2/2022).
Febrio mengatakan Indonesia memiliki kepentingan besar dalam isu perubahan iklim dunia. Kondisi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan membuat negara ini rentan terhadap kenaikan muka air laut.
Di sisi lain, Indonesia juga bisa memberikan kontribusi besar dalam mencapai target penurunan emisi karbon dunia. Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC) menargetkan penurunan emisi karbon sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030. Selain itu, ada target net zero emission (NZE) pada 2060.
Febrio memaparkan terdapat sejumlah sektor yang berkontribusi besar dalam produksi karbon di Indonesia, terutama kehutanan dan energi. Sektor kehutanan berkontribusi lebih 50% produksi karbon karena menghasilkan sekitar 500 juta ton CO2.
Kemudian, sektor energi memproduksi karbon sebanyak sekitar 300 juta ton CO2. Jika pemerintah berfokus pada dua sektor itu, ia menilai penurunan produksi karbon setidaknya akan dapat mencapai 90%.
Febrio menilai langkah penurunan emisi karbon dari kehutanan sudah bagus. Berdasarkan hitungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), emisinya akan mencapai nol pada 2030. Untuk itu, pemerintah kini berfokus pada isu yang lebih berat, yaitu transisi energi, terutama listrik yang 65% di antaranya berasal dari batubara.
Transisi energi akan membutuhkan biaya besar karena harus membangun pembangkit listrik yang ramah lingkungan untuk menggantikan PLTU batubara. Adapun menurut penghitungan pemerintah, PLTU batubara baru akan memasuki periode tidak produktif pada 2056.
"Kami ingin [transisi energi] ini lebih cepat. Kami ingin membangun pembangkit listrik energi baru dan terbarukan, tapi juga supply and demand listrik harus terjaga," ujar Febrio.
Pemerintah sebelumnya mengestimasikan kebutuhan biaya mitigasi perubahan iklim untuk mencapai NDC mencapai Rp3.461 triliun hingga 2030. Sepanjang periode 2018-2020, alokasi belanja untuk penanganan perubahan iklim telah mencapai Rp307,94 triliun, dengan rata-rata belanja Rp102,65 triliun per tahun. (rig)