Sejumlah pekerja menyelesaikan proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung di Jalan Raya Kalimalang, Jakarta Timur, Jumat (11/2/2022). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/YU
JAKARTA, DDTCNews - Lembaga pemeringkat Moody's memperkirakan posisi utang pemerintah masih akan meningkat ke level 42,5% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2023.
Moody's menilai peningkatan utang tersebut terjadi sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Rasio utang yang sebesar 42,5% PDB dinilai sebagai puncaknya sebelum kemudian stabil di sekitar level itu.
"Moody's memperkirakan tingkat utang akan meningkat hingga 2023, mencapai puncaknya pada 42,5% PDB dan kemudian stabil di sekitar level itu setelahnya," bunyi laporan Moody's, dikutip Jumat (11/2/2022).
Meski meningkat, Moody's menilai posisi utang Indonesia tidak sebesar pasar negara berkembang lain. Pada negara berkembang lain yang juga memperoleh peringkat Baa, posisi utangnya dapat mencapai 64% PDB.
Adapun hingga akhir 2021, pemerintah mencatat posisi utang mencapai Rp6.908,87 triliun atau 41,0% PDB.
Walaupun rasio utang relatif rendah, Moody's kemudian menyoroti keterjangkauan utang yang dapat menjadi hambatan dalam profil fiskal Indonesia. Rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan yang sudah lemah sebelum pandemi, memburuk menjadi 19% pada tahun 2020 karena pendapatan berkontraksi.
Pada tahun 2021, peningkatan pertumbuhan pendapatan ditambah dengan biaya bunga yang lebih rendah menghasilkan sedikit peningkatan rasio menjadi 17%. Namun, dengan mempertimbangkan kenaikan suku bunga secara global dan domestik, Moody's memperkirakan rasio ini akan berkisar sekitar 18% ke depan, yang secara material lebih tinggi dari median Baa sekitar 8%.
"Pangsa pinjaman mata uang asing telah berkurang secara signifikan selama 2 tahun terakhir, tetapi sekitar sepertiga dari total utang pemerintah secara umum, terus mengekspos kekuatan fiskal terhadap pergeseran selera eksternal dan fluktuasi mata uang, bunyi laporan Moody's.
Di sisi lain, Moody's menilai pengesahan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) akan menjadi penyangga fiskal dalam jangka panjang. Dengan  UU HPP, penerimaan pajak diperkirakan akan bertambah sebesar 0,7% hingga 1,2% terhadap PDB per tahun pada sepanjang 2022-2025.
Melalui berbagai langkah konsolidasi fiskal yang berjalan, defisit fiskal diperkirakan hanya akan sebesar 3,8% PDB pada 2022. Hal itu akan membuka jalan bagi pemerintah untuk mencapai tujuan yang ditetapkan untuk kembali ke batas defisit 3,0% PDB pada 2023.
Moody's memutuskan untuk kembali mempertahankan Sovereign Credit Rating Indonesia pada peringkat Baa2, satu tingkat di atas investment grade, dengan outlook stabil. Sebelumnya, Moody's mempertahankan Sovereign Credit Rating Indonesia pada Baa2 dengan outlook stabil pada 10 Februari 2020. (sap)