Ilustrasi.
MEDAN, DDTCNews - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut pengenaan pajak karbon sebagaimana diatur dalam UU No. 7/2021 merupakan bagian dari upaya Presiden Joko Widodo agar Indonesia dapat turut terlibat dalam mencegah perubahan iklim.
Sri Mulyani menjelaskan UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) mengatur soal pengenaan pajak karbon guna mendukung pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2030.
"Indonesia ingin menurunkan 29% CO2 pakai upaya sendiri atau 42% kalau mendapatkan bantuan internasional. Salah satu cara mengejar tekad tersebut adalah dengan pajak karbon," katanya dikutip pada Minggu (6/2/2022).
Sri Mulyani menuturkan terdapat 4 sektor di Indonesia yang berkontribusi besar dalam emisi CO2, yaitu penebangan hutan, land use, energi, dan transportasi.
Nanti, pajak karbon akan dilaksanakan bersamaan dengan pasar karbon. Bila suatu entitas melakukan aktivitas bisnis melampaui cap emisi, perusahaan tersebut harus membeli sertifikat izin emisi (SIE) dari entitas yang tidak melampaui cap emisi.
Bila entitas tidak dapat membeli SIE, setiap emisi yang berada di atas cap akan dikenai pajak karbon sesuai dengan UU HPP.
Pada fase awal, pajak karbon hanya akan dikenakan atas PLTU batu bara pada 1 April 2022 seiring dengan implementasi pasar karbon yang sudah berjalan pada kegiatan usaha tersebut. Tarif pajak karbon ditetapkan Rp30 per kilogram CO2 ekuivalen.
Pada 2025, perdagangan karbon diharapkan bisa diimplementasikan secara penuh dan implementasi pajak karbon akan diperluas sesuai dengan kesiapan sektor masing-masing. (rig)