KEBIJAKAN PAJAK

Kerap Beda Tafsir, Pajak Pusat dan Daerah Akan Ditegaskan di UU HKPD

Muhamad Wildan
Rabu, 15 Desember 2021 | 11.48 WIB
Kerap Beda Tafsir, Pajak Pusat dan Daerah Akan Ditegaskan di UU HKPD

Dirjen Perimbangan Keuangan Astera Primanto Bhakti dalam acara Media Briefing UU HKPD, Rabu (15/12/2021).

JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan akan berkomunikasi dengan Ditjen Pajak (DJP) untuk menyinergikan pajak pusat dan pajak daerah.

Dirjen Perimbangan Keuangan Astera Primanto Bhakti mengatakan saat ini masih terdapat wilayah abu-abu antara objek pajak pusat dan objek pajak daerah, khususnya antara PPN dan pajak daerah yang berbasis konsumsi.

"Kita lihat banyak kasus grey area. Kami sudah bicara dengan DJP. Kami sudah bicara dengan DJP mana yang seharusnya hak pusat ya dikelola pusat, yang hak daerah dikelola daerah," katanya dalam acara Media Briefing UU HKPD, Rabu (15/12/2021).

Selain itu, lanjut Astera, masih terdapat juga beberapa objek pajak yang mendapatkan perlakuan berbeda antara satu daerah ke daerah yang lain.

"Grey area ini juga kami bicarakan dengan DJP. Ini juga DJP men-treat berbeda antara satu kanwil dengan kanwil yang lain," ujar Prima.

Merujuk pada naskah akademik UU HKPD, pemerintah menyebut saat ini masih terdapat perbedaan penafsiran antara kantor pelayanan pajak (KPP) dan fiskus pajak daerah.

Contoh, persinggungan antara PPN dan pajak restoran atas toko roti, antara PPN dan pajak hotel atas persewaan ruangan di dalam hotel, antara PPN dan pajak hotel atas persewaan ruangan untuk kos, serta antara PPN dan pajak parkir atas valet.

"Perbedaan-perbedaan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum bagi wajib pajak di daerah, sehingga perlu ditegaskan dalam UU ini," tulis pemerintah pada naskah akademik.

Dalam UU HKPD, 5 jenis pajak daerah yang berbasis konsumsi antara lain pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak parkir, dan pajak penerangan jalan diintegrasikan ke dalam 1 jenis pajak baru yakni pajak barang dan jasa tertentu (PBJT).

PBJT dikenakan atas konsumsi makanan dan minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa parkir, dan jasa kesenian dan hiburan. Merujuk pada Pasal 51 hingga Pasal 55 UU HKPD, objek PBJT dijabarkan secara lebih terperinci dibandingkan dengan perincian objek pajak yang ada di UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Integrasi 5 jenis pajak berbasis konsumsi ke dalam PBJT bertujuan untuk menyelaraskan objek pajak pusat dan daerah guna menghindari pemungutan berganda.

"Selain integrasi pajak-pajak Daerah berbasis konsumsi, PBJT mengatur perluasan objek pajak seperti atas parkir valet, objek rekreasi, dan persewaan sarana dan prasarana olahraga," bunyi bagian penjelasan UU HKPD. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.