UU HPP

Blak-blakan Sri Mulyani Soal Pajak Karbon, Ini Alasan Tarifnya Rendah

Dian Kurniati
Selasa, 07 Desember 2021 | 11.15 WIB
Blak-blakan Sri Mulyani Soal Pajak Karbon, Ini Alasan Tarifnya Rendah

Menteri Keuangan Sri Mulyani. (tangkapan layar)

JAKARTA, DDTCNews - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pemerintah memiliki berbagai pertimbangan dalam menetapkan tarif pajak karbon. Pengenaan pajak karbon baru dimulai pada April 2022.

Pemerintah, ujar Sri, menetapkan pajak karbon dengan tarif yang rendah karena mempertimbangkan aspek keterjangkauan masyarakat atau affordability. Apalagi, pajak karbon pada tahap awal akan dikenakan pada sektor energi yang dibutuhkan oleh semua lapisan masyarakat.

"Karena kalau kita bicara tentang energi, kita bicara tentang affordability, different level of affordability dari masyarakat maupun ekonomi suatu negara," katanya dalam Pertamina Energy Webinar 2021: Energizing Your Future, Selasa (7/12/2021).

Sri Mulyani mengatakan pemerintah dan DPR mulai mengenakan pajak karbon melalui pengesahan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) mulai April 2022. Sebagai tahap awal, pajak karbon baru akan dikenakan pada PLTU batu bara.

Menurutnya, skema pajak karbon menjadi salah satu upaya pemerintah mencegah terjadinya perubahan iklim. Dalam proses persiapannya, pemerintah memikirkan secara detail setiap aspeknya karena perbedaan harga untuk komoditas yang sama berpotensi menimbulkan implikasi arbitrase dalam mekanisme pasar.

Mengenai tarif, disepakati sebesar Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e), atau kurang dari US$3 per ton CO2e. Menurut Sri Mulyani, angka tersebut tergolong sangat kecil dibandingkan dengan tarif ideal menurut Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework on Climate Change Conference/UNFCCC) sebesar US$125 per ton CO2e.

Sri Mulyani menilai angka yang diajukan PBB terlalu tinggi dan berpotensi memengaruhi perekonomian negara. Bahkan pada negara-negara maju seperti Kanada dan Singapura, tarif pajak karbonnya sama atau tidak berbeda jauh dari Indonesia.

Dia kemudian membandingkan tarif pajak karbon di Kanada yang direncanakan akan naik secara bertahap menjadi US$75 dan US$125 per ton CO2e. Namun di Indonesia, pemerintah belum bisa menetapkan tarif pajak karbon setinggi di Kanada.

Sri Mulyani juga memaparkan rencana pembentukan mekanisme pasar karbon yang akan melengkapi instrumen pajak karbon. Nantinya, perusahaan dengan produksi karbon tinggi dapat membeli kredit dari proyek pelestarian lingkungan, yang nantinya dapat dijadikan pengurang pajak.

Dalam semua mekanisme penanganan perubahan iklim tersebut, lanjutnya, pemerintah juga akan selalu memastikan aspek keadilan dan keterjangkauan masyarakat terpenuhi.

"Kami memahami masyarakat kita memiliki juga daya beli yang berbeda-beda. Barangkali kelompok 10% atau 20% top affordability-nya berbeda dengan 40% bottom," ujarnya. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.