Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mengatur tidak adanya opsi menggantikan (subsider) pembayaran pidana denda dengan kurungan. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 44C UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) s.t.d.t.d UU HPP.
Pidana denda dalam pasal ini merujuk pada sanksi yang diatur dalam Pasal 39 dan 39A UU KUP. Secara ringkas, sanksi dalam Pasal 39 dan 39A UU KUP itu dikenakan terhadap wajib pajak yang secara sengaja melakukan tindak pidana pajak. Tindakan yang dimaksud seperti membuat faktur fiktif.
“Pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A tidak dapat digantikan dengan pidana kurungan dan wajib dibayar oleh terpidana,” demikian bunyi Pasal 44C ayat (1) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP dikutip pada Kamis (21/10/2021).
Namun, berdasarkan pada Pasal 44C ayat (2), jika terpidana tidak membayar pidana denda paling lama 1 bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht), jaksa akan melakukan penyitaan dan pelelangan terhadap harta kekayaan terpidana .
Penyitaan dan pelelangan tersebut dilakukan untuk membayar pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
DJP melalui laman resminya menyatakan selama ini jumlah pidana denda yang dapat dieksekusi atau dibayarkan terpidana masih sangat kecil ketimbang jumlah yang tercantum dalam vonis pidana denda. Hal ini dikarenakan adanya opsi untuk menyubsider pembayaran pidana denda dengan kurungan.
Dengan Pasal 44C UU HPP, pengembalian kerugian pendapatan negara diharapkan bisa optimal. Apabila pada akhirnya harta terpidana tidak cukup untuk melunasi pidana denda, terpidana akan dikenakan pidana penjara yang lamanya tidak lebih dari pidana penjara yang telah diputus.
Usulan peniadaan subsider pidana denda dengan kurungan sebelumnya telah tercantum dalam RUU KUP. Berdasarkan pada naskah akademik (NA) RUU KUP, langkah ini merupakan bagian dari upaya penegakan hukum pidana di bidang perpajakan berbasis pemulihan kerugian pada pendapatan negara.
Sebelumnya, upaya itu menemui tantangan karena hakim menjadikan Pasal 30 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai pertimbangan dalam menjatuhkan putusan. Adapun Pasal 30 ayat (2) KUHP menyebutkan jika tidak dibayar, pidana denda diganti dengan pidana kurungan.
Akibatnya, negara justru menambah pengeluaran untuk membiayai narapidana dan tidak menerima penerimaan dari pemulihan kerugian pada pendapatan negara. Terlebih, saat ini sudah tidak ada lagi instrumen untuk menagih pokok pajak saat perkara pidana telah inkracht.
Hal ini lantaran instrumen menagih pokok pajak dalam perkara pidana yaitu Pasal 13 ayat (5) dan Pasal 15 ayat (4) UU KUP telah dihapus dengan UU Cipta Kerja. Untuk itu, Pasal 44C menjadi harapan baru pemulihan kerugian pada pendapatan negara berasal dari pembayaran pidana denda.
Sebab, Pasal 44C membuat wajib pajak, tersangka, atau terdakwa harus melunasi pidana denda hasil putusan hakim yang telah inkracht apabila tidak memanfaatkan asas ultimum remedium dalam Pasal 44B UU KUP. Simak ‘Ultimum Remedium Pidana Pajak Diperluas Hingga Tahap Persidangan’. (kaw)