UU HPP

DJP Bisa Minta Bantuan Negara Mitra untuk Penagihan Pajak

Nora Galuh Candra Asmarani
Jumat, 08 Oktober 2021 | 17.30 WIB
DJP Bisa Minta Bantuan Negara Mitra untuk Penagihan Pajak

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews – UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) mengatur ketentuan kerja sama dalam pelaksanaan bantuan penagihan pajak dengan negara/yurisdiksi mitra.

Klausul itu termuat dalam Pasal 20A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) s.t.d.t.d. UU HPP. Pasal tambahan ini memberikan wewenang kepada menteri keuangan untuk melakukan kerja sama bantuan penagihan pajak dengan yurisdiksi mitra.

“Menteri keuangan berwenang melakukan kerja sama untuk pelaksanaan bantuan penagihan pajak dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra,” demikian bunyi Pasal 20A ayat (1) UU KUP yang dimuat dalam UU HPP, Jumat (8/10/2021).

Pelaksanaan bantuan penagihan pajak akan dilakukan dirjen pajak. Dengan ketentuan tersebut, dirjen pajak dapat memberikan bantuan penagihan pajak dan meminta bantuan penagihan pajak kepada negara/yurisdiksi mitra.

UU HPP menekankan, baik pemberian maupun permintaan bantuan penagihan pajak dilakukan berdasarkan perjanjian internasional dan secara resiprokal.

Penerapan prinsip resiprokal berarti dirjen pajak dapat memberikan bantuan penagihan pajak kepada pemerintah negara/yurisdiksi mitra sepanjang negara/yurisdiksi tersebut juga memberikan bantuan penagihan pajak yang setara kepada Pemerintah Indonesia.

Misal, tindakan penagihan pajak dilakukan sampai dengan memberitahukan surat paksa. Bantuan ini diberikan dalam hal negara/yurisdiksi mitra juga melakukan bantuan tindakan penagihan pajak sampai dengan memberitahukan surat paksa/tindakan yang dapat dipersamakan dengan itu.

Negara/yurisdiksi mitra yang dimaksud dalam ketentuan ini merupakan negara atau yurisdiksi yang terikat dengan Pemerintah Indonesia dalam perjanjian internasional. 

Perjanjian internasional itu merupakan perjanjian bilateral/multilateral yang mengatur kerja sama terkait dengan bantuan penagihan pajak. Perjanjian itu meliputi tax treaty, konvensi tentang bantuan administratif bersama di bidang perpajakan, atau perjanjian bilateral/multilateral lainnya.

Bantuan penagihan pajak ini dapat dilakukan setelah diterima klaim pajak dari negara/yurisdiksi mitra. Klaim pajak tersebut merupakan instrumen legal dari negara/yurisdiksi mitra. Klaim pajak tersebut minimal memuat nilai klaim pajak yang dimintakan bantuan serta identitas penanggung pajak.

Klaim pajak dari negara/yurisdiksi mitra tersebut merupakan dasar penagihan pajak yang akan dilakukan tindakan penagihan pajak oleh dirjen pajak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku mutatis mutandis dengan ketentuan penagihan pajak yang berlaku di negara mitra atau yurisdiksi mitra.

Pasal 20A ayat (8) menyatakan nilai klaim pajak dari negara/yurisdiksi mitra kedudukannya akan dipersamakan dengan utang pajak. Atas nilai klaim pajak tersebut, dilakukan tindakan penagihan pajak oleh dirjen pajak melalui serangkaian kegiatan penagihan.

Hasil penagihan pajak atas klaim pajak dari negara/yurisdiksi mitra tersebut akan ditampung dalam rekening pemerintah lainnya sebelum dikirimkan ke negara/yurisdiksi mitra. Hasil penagihan pajak atas klaim pajak dari negara/yurisdiksi mitra ini bukan merupakan penerimaan negara.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian dan permintaan bantuan penagihan serta penampungan dan pengiriman hasil penagihan pajak atas klaim pajak tersebut akan diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan (PMK). (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.