Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji dalam FGD bertajuk Pajak e-Commerce dan Tantangan dalam Era Digital, Rabu (22/9/2021).
JAKARTA, DDTCNews - Pemajakan atas sharing economy dan e-commerce masih menghadapi sejumlah tantangan. Tantangan tersebut mencakup, baik dari sisi pajak pertambahan nilai (PPN) maupun pajak penghasilan (PPh).
Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan pembahasan mengenai e-commerce tidak bisa terlepas dari sharing economy. Sebab, banyak platform digital yang tidak murni peer-to-peer e-commerce, tetapi kombinasi dari sejumlah model bisnis.
“Sharing economy berarti transaksi antara dua pihak yang di tengah-tengahnya ada intermediary berupa digital platform. Ketika kita melihat definisi mengenai perdagangan melalui sistem elektronik [PMSE] di Indonesia, sedikit banyak berkaitan dengan sharing economy,” katanya, Rabu (22/9/2021).
Berdasarkan berbagai literatur, sambung Bawono, kebijakan pajak baru untuk sharing economy tidaklah diperlukan. Hal yang diperlukan justru lebih pada terobosan administrasi. Secara garis besar, ada 3 hal yang direkomendasikan yaitu via engagement dan edukasi, identifikasi dan profiling, serta skema withholding tax dan rezim simplifikasi.
Lebih lanjut, ia juga menjelaskan sejumlah tantangan PPN digital sebagaimana diatur dalam PMK 48/2020. Pertama, penunjukan pihak pemungut PPN yang tidak bersifat wajib (self-assessment) berpotensi memberikan perlakuan yang berbeda.
“Ini perlu kita perhatikan dalam kerangka regulasi di kemudian hari. Karena jika ada pihak yang ditunjuk dan ada yang tidak, akan membuat burden yang berbeda antar pelaku usaha. Jika nanti kita punya regulasi yang mewajibkan skema pemungutan dalam negeri harusnya lebih bersifat wajib, bukan dapat,” tuturnya.
Kedua, tantangan terkait dengan prinsip place of taxation. Hal ini terutama berkaitan dengan pemajakan transaksi antara business to customer (B2C). Risiko yang muncul berkaitan dengan perdebatan negara yang sebenarnya memperoleh hak pemajakan atas PPN.
“B2C dikenakan berdasarkan usual residence. Ini bisa berbeda-beda. Karena sistem PPN tak memiliki mekanisme debat dual residence seperti tie breaker rule maka setiap negara bisa saja melihat ini haknya untuk memungut PPN,” ujar Bawono.
Bawono memerinci 6 langkah dalam mengoptimalkan PPN dalam ekosistem digital dalam negeri. Keenam hal itu meliputi peran edukasi dan komunikasi, perjanjian kerja sama dengan otoritas, peran informasi sharing, joint and several liability, peran pemungutan PPN, dan full liability role.
Sementara itu, lanjutnya, tantangan dari sisi PPh di antaranya sulitnya identifikasi profil pelaku pada platform digital. Dia juga menyinggung perihal klausul penunjukan pihak lain sebagai pemotong dan/atau pemungut serta penyetor dan pelapor pajak dalam Pasal 32A RUU KUP.
“Pasal 32A RUU KUP ini akan menjadi dasar di kemudian hari bisa saja digital platform itu ditunjuk pemotong dan/atau pemungut pajak,” katanya dalam FGD bertajuk Pajak e-Commerce dan Tantangan dalam Era Digital.
Sekadar informasi, FGD ini diselenggarakan oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Barat. Selain Bawono, forum tersebut juga menghadirkan dua narasumber lain, yaitu International Tax Analyst BKF Fiskal Kemenkeu Melani Dwi Astuti dan Head of Public Policy and Government Relations Asosiasi e-Commerce Indonesia Rofi Uddarojat. (rig)