Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Rencana penyesuaian tarif pajak penghasilan (PPh) final atas bunga obligasi yang diterima wajib pajak dalam negeri kembali menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (13/4/2021).
Penyesuaian tarif dari yang berlaku saat ini 15% menjadi 10% dipertimbangkan setelah terbitnya aturan turunan UU Cipta Kerja, yakni PP 9/2021. Dalam PP tersebut, tarif PPh Pasal 26 atas bunga obligasi yang diterima wajib pajak luar negeri bisa diturunkan dari 20% menjadi 10%.
“Sejauh ini masih on track pembahasannya,” kata Direktur Surat Utang Negara (SUN) Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Deni Ridwan.
Sebelumnya, Kepala Seksi Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh II Ditjen Pajak (DJP) Ilmianto Himawan mengatakan saat ini, ketentuan itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 16/2009 s.t.d.t.d. PP 55/2019.
“Saat ini sedang digodok PP [peraturan pemerintah] yang akan mengatur lebih detail, yang akan diberlakukan nanti 2 Agustus 2021,” imbuhnya.
Seperti diketahui, penurunan tarif PPh Pasal 26 atas bunga obligasi yang diterima wajib pajak luar negeri diturunkan melalui ketentuan Pasal 3 PP 9/2021. PP ini telah diundangkan sejak 2 Februari 2021 dan berlaku 6 bulan setelahnya. Artinya, tarif 10% juga mulai berlaku pada 2 Agustus 2021.
Selain mengenai penurunan PPh final bunga obligasi, masih ada pula bahasan terkait dengan usulan International Monetary Fund (IMF) agar pemerintah mempertimbangkan peningkatan pajak progresif terhadap individu kelas atas atau kaya.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan setidaknya ada dua aspek yang dapat disimpulkan dari rencana penyesuaian tarif PPh final bunga obligasi. Pertama, pemerintah mempertimbangkan UU Cipta Kerja yang sudah memuat penurunan tarif PPh Pasal 26 atas bunga obligasi.
Kedua, pendalaman pasar keuangan serta upaya mendorong pembiayaan berbasis domestik. Rencana penurunan tarif tersebut sejalan dengan upaya relaksasi pajak pasar keuangan yang sudah dilakukan sebelumnya, yaitu penyesuaian tarif untuk reksa dana, Dana Investasi Infrastruktur (Dinfra), dan Kontrak Investasi Kolektif (KIK). (Bisnis Indonesia)
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor sebelumnya mengatakan pengawasan terhadap wajib pajak orang kaya atau high wealth individual (HWI) menjadi salah satu strategi untuk penggalian penerimaan pajak pada masa seperti saat ini.
Menurutnya, populasi HWI, terutama yang berada di sektor digital sangat sedikit. Dengan demikian, otoritas mengaku mudah untuk mendeteksinya. DJP juga akan menggunakan data pihak ketiga untuk mengoptimalkan penerimaan pajak. (Kontan/DDTCNews)
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan masalah pajak HWI tidak hanya berkaitan dengan belum optimalnya kontribusi terhadap penerimaan dan upaya pengurangan ketimpangan, tetapi juga strategi yang tepat pada masa pandemi.
Optimalisasi bisa dilakukan baik dengan kebijakan maupun aspek administrasi. Kebijakan bisa berupa penyesuaian tarif bagi kelompok berpenghasilan tinggi, pajak kekayaan, atau pajak warisan. Aspek administrasi bisa masuk dalam tataran pengawasan kepatuhan dengan penggunaan data. (Kontan)
Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) terus mengembangkan layanan berbasis teknologi dan informasi untuk mempermudah pengguna jasa kepabeanan dan cukai.
Kepala Seksi Humas DJBC Sudiro mengatakan pengembangan layanan digital itu untuk mendukung peran sebagai enabler dalam pembangunan perekonomian. Saat ini, ada sekitar 60 aplikasi pelayanan kepabeanan dan cukai yang dikembangkan kantor pusat DJBC serta kantor wilayah dan kantor pelayanan. (DDTCNews)
Digitalisasi telah menciptakan model bisnis baru yang tidak terikat yurisdiksi dan tidak lagi memerlukan kehadiran fisik. Model bisnis baru ini menimbulkan berbagai tantangan bagi dunia perpajakan yang perlu solusi berbeda-beda.
Manager of DDTC Fiscal Research Denny Vissaro menyebut untuk mengatasi permasalahan yang berbeda-beda itu diperlukan 3 tahap. Pertama, memahami model bisnis digital. Kedua, mengidentifikasi mana ketentuan pajak yang relevan dengan model bisnis. Ketiga, memilih solusi yang tepat apakah dari segi kebijakan, administrasi, atau keduanya. (DDTCNews) (kaw)