Kepala Seksi Pertukaran Informasi I Direktorat Perpajakan Internasional DJP Arnaldo Purba saat memaparkan materi dalam Tax Corner bertajuk Perkembangan Terkini Pemajakan Internasional atas Ekonomi Digital. (tangkapan layar Youtube)
JAKARTA, DDTCNews – Digitalisasi memicu perubahan mendasar dalam semua aspek bisnis secara pesat. Digitalisasi pada gilirannya mendorong transformasi dalam strategi pajak perusahaan. Namun, perubahan tersebut masih sulit diimbangi dengan perubahan regulasi pajak internasional.
Kepala Seksi Pertukaran Informasi I Direktorat Perpajakan Internasional DJP Arnaldo Purba mengatakan hal tersebut dalam Tax Corner bertajuk Perkembangan Terkini Pemajakan Internasional atas Ekonomi Digital. Menurutnya, digitalisasi menimbulkan tantangan dari sisi regulasi pemajakan.
“Misalnya, secara umum P3B mencerminkan konsep tradisional pemajakan yang mensyaratkan kehadiran fisik. Hal tersebut membuat pajak atas keuntungan usaha baru bisa diterapkan jika suatu perusahaan memiliki bentuk usaha tetap (BUT) pada suatu negara,” ungkap Arnaldo, Jumat (30/10/2020)
Berdasarkan P3B yang ada saat ini, sambungnya, kehadiran pasar (market) dan pengguna (user) tidak cukup untuk mengatakan suatu bisnis memiliki usaha di suatu negara tempatnya beroperasi. Kelemahan tersebut pada akhirnya memicu peluang praktik base erosion and profit shifting (BEPS).
Praktik BEPS sangat merugikan negara berkembang, termasuk Indonesia. Pasalnya, mayoritas negara berkembang bergantung pada penerimaan pajak penghasilan (PPh) badan. Arnaldo memaparkan terdapat 3 opsi yang tengah menjadi bahasan dan sorotan dunia untuk menjawab tantangan pajak akibat digitalisasi ekonomi.
Pertama, unified approach. Setelah mendapatkan mandat dari G20, sambungnya, OECD pada 2013 berupaya mengidentifikasi tantangan pengenaan pajak pada ekonomi digital. Hasil identifikasi tersebut dituangkan dalam BEPS Action 1- Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy.
Pembahasan tersebut terus berlanjut melalui OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS yang pada akhirnya mengusulkan unified approach. Dalam kesempatan itu, Arnaldo menjelaskan mengenai Amount A yang diusulkan dalam unified approach yang mencakup prinsip pajak baru.
Arnaldo menjabarkan terdapat 2 cakupan aktivitas bisnis dalam Amount A, yaitu automated digital services (ADS) dan consumer facing business (CFB). Kemudian, ambang batas pendapatan yang digunakan adalah pendapatan secara global dan lokal, tetapi angkanya belum diputuskan.
Selanjutnya, instrumen yang digunakan dalam unified approach adalah multilateral convention. Sementara itu, basis pajak yang digunakan berdasarkan pada laporan keuangan konsolidasi grup dari perusahaan multinasional.
Kedua, unilateral measure. Opsi ini merupakan tindakan sepihak yang ditempuh suatu negara untuk mengatasi tantangan ekonomi digital dengan undang-undang domestiknya sendiri. Cakupan unilateral measure umumnya hanya menyasar ADS.
Kemudian, ambang batas pendapatan yang digunakan adalah pendapatan secara global dan lokal. Selanjutnya, instrumen yang digunakan berupa unilateral. Basis pajak yang digunakan adalah local revenue atau penghasilan yang diterima hanya dari negara bersangkutan.
Ketiga, treaty modification. Dasar pemikiran dari opsi ketiga ini adalah mengubah pasal terkait dalam P3B sehingga kehadiran ekonomi digital bisa dipajaki oleh negara sumber. Opsi ketiga ini mulai dirintis oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) atau United Nation (UN)
UN melalui The United Nations Department of Economic and Social Affairs (UN DESA) membentuk UN Committee Approach on Tax Consequences of Digitalize Economic Issue. Komite ini bekerja secara independen untuk menambahkan satu pasal baru yaitu pasal 12B dalam UN Model Tax Convention.
Adapun acara ini diselenggarakan secara daring melalui platform Zoom Meeting. Selain Arnaldo, acara ini juga menghadirkan Partner Tax Research and Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji. Simak artikel ‘Ternyata Penerapan PPN Ekonomi Digital Masih Menyisakan Tantangan’. (kaw)