BERITA PAJAK HARI INI

Ada 11 Fokus Litbang yang Dapat Insentif Supertax Deduction, Apa Saja?

Redaksi DDTCNews
Jumat, 16 Oktober 2020 | 08.03 WIB
Ada 11 Fokus Litbang yang Dapat Insentif Supertax Deduction, Apa Saja?

Ilustrasi. 

JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah memberikan 11 fokus prioritas penelitian dan pengembangan (litbang) yang bisa mendapatkan insentif pengurangan penghasilan bruto hingga 300%. Topik supertax deduction masih menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (16/10/2020).

Sesuai dengan ketentuan PMK 153/2020, terhadap wajib pajak yang melakukan kegiatan litbang tertentu di Indonesia dapat diberikan pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 300% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan litbang tertentu di Indonesia.

Pengurangan itu meliputi pertama, pengurangan penghasilan bruto sebesar 100% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan litbang. Kedua, tambahan pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 200% dari akumulasi biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan litbang dalam jangka waktu tertentu.

“Penelitian dan pengembangan tertentu … yang dapat diberikan tambahan pengurangan penghasilan bruto [200%] … merupakan penelitian dan pengembangan prioritas dengan fokus dan tema sebagaimana tercantum dalam Lampiran …,” demikian bunyi penggalan Pasal 4 ayat (1) d.

Dalam Lampiran PMK 153/2020 dijabarkan ada 11 fokus yang meliputi 105 tema litbang yang bisa mendapatkan tambahan pengurangan penghasilan bruto. Adapun 11 fokus yang dimaksud adalah pangan; farmasi, kosmetik, dan alat kesehatan; serta tekstil, kulit, alas kaki, dan aneka.

Kemudian, ada alat transportasi; elektronika dan telematika; energi; barang modal, komponen, dan bahan penolong; agroindustri; logam dasar dan bahan galian bukan logam; kimia dasar berbasis migas dan batu bara; serta pertahanan dan keamanan.

Selain mengenai insentif supertax deduction, masih ada pula bahasan terkait dengan gagal tercapainya konsensus global atas pemajakan ekonomi digital yang berada di bawah koordinasi Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Berikut ulasan berita selengkapnya.

  • Memperoleh Penemuan Baru

Selain harus sesuai dengan fokus dan tema prioritas pemerintah, sesuai dengan ketentuan dalam PMK 153/2020, kegiatan litbang yang bisa mendapat pengurangan penghasilan bruto hingga 300% harus memenuhi 3 syarat lainnya.

Pertama, kegiatan litbang tidak dilakukan oleh wajib pajak yang menjalankan usaha berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang penghasilan kena pajak (PKP)-nya dihitung berdasarkan ketentuan tersendiri yang berbeda dengan ketentuan umum PPh.

Kedua, kegiatan litbang mulai dilaksanakan paling lama sejak berlakunya PP 45/2019 tentang Perubahan atas PP 94/2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan.

Ketiga, kegiatan litbang memenuhi kriteria 5 kriteria, yakni bertujuan untuk memperoleh penemuan baru, berdasarkan konsep atau hipotesa orisinal, memiliki ketidakpastian atas hasil akhirnya, terencana dan memiliki anggaran, dan bertujuan untuk menciptakan sesuatu yang bisa ditransfer secara bebas atau diperdagangkan di pasar. (DDTCNews)

  • Biaya Litbang

Melalui PMK 153/2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga memerinci 5 jenis biaya litbang yang dapat diberikan tambahan pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 200% setelah pengurangan 100% sudah pasti diberikan.

Pertama, biaya yang berkaitan dengan aktiva selain tanah dan bangunan, berupa biaya penyusutan atau amortisasi dan biaya penunjang aktiva tetap berwujud. Kedua, biaya yang berkaitan dengan barang dan/atau bahan.

Ketiga, gaji, honor, atau pembayaran sejenis yang dibayarkan kepada pegawai, peneliti, dan/atau perekayasa yang dipekerjakan. Keempat, pengurusan untuk mendapatkan hak kekayaan intelektual berupa paten atau hak perlindungan varietas tanaman (PVT).

Kelima, imbalan yang dibayarkan kepada lembaga litbang dan/atau lembaga pendidikan tinggi di Indonesia yang dikontrak oleh wajib pajak untuk melakukan kegiatan litbang tanpa memiliki hak atas hasil dari litbang yang dilakukan. (DDTCNews)

  • Aksi Unilateral

Sulitnya pencapaian konsensus di bawah koordinasi OECD telah mendorong aksi unilateral di berbagai negara, terutama di Uni Eropa. Pada saat yang sama, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga telah mengajukan suatu solusi pemajakan digital melalui kehadiran pasal baru yaitu Pasal 12B Model P3B.

Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan gagalnya pencapaian konsensus pada tahun ini menciptakan justifikasi sistem pemajakan terhadap ekonomi digital di kemudian hari akan semakin divergen atau mengarah ke titik yang berbeda.

“Kecepatan dalam mengambil sikap adalah hal yang penting. Adanya PTE (pajak transaksi elektronik) [dalam UU 2/2020] juga bisa menjadi bargaining power bagi Indonesia untuk memaksa kesepakatan di tingkat global,” ujarnya. (Kontan)

  • Pemotongan DAU dan DBH

Sesuai ketentuan dalam UU Cipta Kerja, pemerintah daerah yang menyusun rancangan peraturan daerah (Raperda) pajak dan retribusi, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, harus menyampaikan naskah raperda kepada menteri dalam negeri dan menteri keuangan.

Raperda itu akan dikaji oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan untuk memastikan tidak ada kebijakan yang tumpang tindih dengan pemerintah pusat. Apabila pemerintah daerah melanggar ketentuan yang ada, pemerintah pusat dapat memotong atau menunda pencairan dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH). (Bisnis Indonesia)

  • Insentif Pajak Sektor Properti

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta seluruh pelaku usaha properti dan perumahan memanfaatkan insentif pajak untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional dari tekanan pandemi Covid-19.

Sri Mulyani mengatakan peran sektor properti sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Selain memulihkan sektor usaha, dia berharap insentif pajak juga dapat mendorong masyarakat kembali membeli properti. Simak artikel ‘Sri Mulyani Minta Pengusaha Properti Pakai Insentif Pajak, Ada Apa?’. (DDTCNews)

  • Perubahan Paradigma

Paradigma terkait pengetahuan pajak yang masuk dalam kurikulum perguruan tinggi perlu diubah. Perubahan perlu dilakukan untuk memberikan solusi atas adanya ketidaksesuaian antara kebutuhan dunia profesi atau praktik dengan hasil lulusan pendidikan pajak.

Ketua Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (Atpetsi) sekaligus Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan kurikulum pendidikan pajak seharusnya mampu menjawab kebutuhan dunia profesi. Kebutuhan dunia profesi saat ini tidak terlepas dari perkembangan internasional.

“Kita selalu memaknai pajak itu [terbatas pada lingkup] domestik sehingga kurikulum kita lebih banyak belajar hukum positif. Nah, paradigma ini yang perlu diubah,” katanya. Simak artikel ‘Redesain Kurikulum Pajak, Pakar: Perlu Perubahan Paradigma’. (DDTCNews) (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.