HUKUM PAJAK

UU KUP Diperkarakan ke MK, Begini Respons Pemerintah

Muhamad Wildan
Rabu, 19 Agustus 2020 | 17.36 WIB
UU KUP Diperkarakan ke MK, Begini Respons Pemerintah

Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (Foto: DDTCNews)

JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah menanggapi adanya permohonan pengujian atas Pasal 2 ayat 6 dan Pasal 32 ayat 2 Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Dirjen Pajak Suryo Utomo, yang membacakan keterangan Presiden sehubungan dengan permohonan uji materiil UU KUP terhadap UUD 1945, meminta Majelis Hakim menerima keterangan Presiden secara keseluruhan dan menyatakan pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum.

Karena itu, majelis hakim harus menolak permohonan pengujian pemohon seluruhnya atau setidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard), dan menyatakan Pasal 2 ayat 6 dan Pasal 32 ayat 2 UU KUP tidak bertentangan dengan UUD 1945.

"Apabila Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon kiranya dapat memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono)," ujar Suryo sebagaimana tertuang dalam risalah sidang tertanggal 18 Agustus 2020, dikutip Rabu (19/8/2020).

Berdasarkan Keterangan Presiden yang dibacakan Suryo, Pasal 2 ayat 6 dan Pasal 32 ayat 2 UU KUP merupakan ketentuan untuk memasukan hak dan kewajiban perpajakan wajib pajak yang dilaksanakan secara self-assesment dapat dilaksanakan dengan benar.

Hal ini sejalan dengan Putusan MK No. 68/PUU-XVII/2019 yang merangkum pertimbangan Putusan MK No. 004/PUU-II/2004, Putusan MK No. 3/PUU-XVI/2018. dan Putusan MK No. 19/PUU-XVI/2018.

Putusan tersebut berpandangan bahwa timbulnya utang pajak bukan karena denda atau hukuman, tetapi semata-mata karena adanya kewajiban pembayaran pajak dari warga negara ke negara.

Selanjutnya, pengenaan pajak tidak dapat dipertentangkan dengan hak konstitusional warga negara sepanjang didasarkan atas UU dan tidak dilakukan secara sewenang-wenang.

Kewenangan negara untuk memungut pajak dan menentukan besaran pemungutan pajak sudah diatur dalam UU dan UU dianggap sebagai salah satu perwujudan kehendak rakyat.

"Dengan kata lain, meskipun negara berdasarkan hak istimewa yang dimilikinya berwenang untuk memungut pajak dan pemungutan lainnya yang bersifat memaksa, sesungguhnya kewenangan ini diberikan atas persetujuan rakyat dan hanya digunakan untuk keperluan negara," ujar Suryo.

Adapun perihal tidak semua warga negara mampu membayar pajak, pemerintah berpandangan hal ini adalah fakta sosial atau kenyataan empirik yang tidak dapat digunakan sebagai landasan untuk menyatakan kewenangan negara memungut pajak bertentangan dengan UUD 1945.

Uji permohonan pengujian atas Pasal 2 ayat 6 dan Pasal 32 ayat 2 UU KUP diajukan perseorangan Taufik Surya Dharma kepada MK karena dirinya selaku mantan pengurus  PT United Coal Indonesia (UCI) merasa dirugikan hak konstitusionalnya akibat dua pasal tersebut.

Dibacakan oleh kuasa hukumnya yakni Heru Widodo, Taufik merasa dirugikan karena utang pajak PT UCI yang sudah dinyatakan pailit ini tetap ditagihkan kepada Taufik hingga sebesar Rp193 miliar pada Mei 2019 lalu.

Pada akhir 2019, Taufik yang tidak lagi menjadi pengurus PT UCI mendapatkan surat tagihan pajak dari kantor pajak dan pemberitahuan tentang perintah memberi kuasa kepada bank untuk memberitahukan saldo kekayaan penanggung pajak yang tersimpan di bank atas nama pemohon.

"Dalam surat tersebut, juga diberitahukan Bank BCA Kantor Cabang Utama Kuningan telah memblokir harta kekayaan Pemohon yang tersimpan  atas nama Pemohon, NPWP 14.032 dan seterusnya, selaku penanggung pajak PT UCI," ujar Heru seperti dalam risalah sidang 23 Juni 2020. (Bsi)

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.