Gedung Ditjen Pajak. (foto: DDTCNews)
JAKARTA, DDTCNews—Pemerintah menyebutkan setidaknya terdapat enam faktor yang dinilai bakal menjadi penghambat pemerintah dalam mengejar target penerimaan pajak tahun depan sebesar Rp1.268,5 triliun.
Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2021, pemerintah menargetkan penerimaan pajak pada tahun 2021 tumbuh 6% atau menjadi Rp1.268,5 triliun dari Rp1.198,9 triliun. Menurut pemerintah, target tersebut terbilang konservatif.
"Dengan target yang cukup konservatif, risiko penerimaan perpajakan masuk dalam Kategori Sedang dengan likelihood Mungkin," tulis pemerintah dalam nota keuangan, dikutip Selasa (18/8/2020).
Dalam mengumpulkan penerimaan pajak, pemerintah juga menyebutkan enam faktor yang berpotensi menghambat pencapaian target penerimaan pajak antara lain kebutuhan insentif yang masih tinggi.
Kemudian, dinamika sistem pajak dalam periode reformasi pajak; kepatuhan pajak yang rendah; shadow economy; dominasi PPh Badan dalam struktur penerimaan pajak; dan tax buoyancy yang tidak stabil.
Insentif menjadi salah satu faktor utama yang berpotensi mengganjal target penerimaan pajak. Hal ini dikarenakan kebutuhan insentif perpajakan tahun depan dinilai masih akan tinggi seiring dengan melambatnya ekonomi.
Oleh karena itu, pemerintah memandang perlu adanya insentif pajak untuk memulihkan ekonomi atau kondisi keuangan wajib pajakm, baik itu wajib pajak orang pribadi maupun wajib pajak badan.
Dalam RAPBN 2021, pemerintah mengalokasikan dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) sebesar Rp356,5 triliun di antaranya untuk insentif pajak berupa fasilitas pajak ditanggung pemerintah, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, dan restitusi PPN dipercepat.
Reformasi pajak juga diprediksi menjadi faktor yang menghambat target penerimaan pajak. Dalam nota keuangan, dituliskan jika perubahan peraturan dalam agenda reformasi pajak membutuhkan waktu familiarisasi bagi wajib pajak.
Kepatuhan wajib pajak yang rendah juga bakal menghambat target penerimaan. Tax ratio Indonesia yang relatif rendah ketimbang negara lain mengindikasikan masih ada compliance gap dan policy gap dalam pelaksanaan pemungutan pajak nasional.
"Ke depan, pemerintah akan mengoptimalisasi penerimaan perpajakan dengan meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak melalui edukasi yang efektif dan peningkatan pelayanan, termasuk terhadap golongan High Net Worth Individual," sebut pemerintah.
Terkait dengan shadow economy, pemerintah menilai ekonomi digital masih sulit untuk dipajaki. Hal ini dikarenakan beberapa bentuk sektor ekonomi digital seperti e-commerce dan uang elektronik dijalankan secara anonim.
Untuk struktur penerimaan pajak, kontribusi PPh badan tetap dominan atau sekitar 52,2% terhadap penerimaan PPh nonmigas 2019. Kondisi ini menyebabkan penerimaan pajak menjadi rentan dan bisa menekan terhadap kondisi keuangan korporasi.
Kemudian, tax buoyancy masih tidak stabil. Idealnya, pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak seharusnya memiliki korelasi yang kuat. Namun demikian, hal ini justru tidak muncul di Indonesia.
Untuk diketahui, tax buoyancy Indonesia pada 2018 meningkat ke angka 1,6 lalu mengalami penurunan ke 0,3 pada 2019, padahal pertumbuhan PDB nominal dari tahun ke tahun tidak terlalu berbeda.
Tax buoyancy adalah rasio antara pertumbuhan penerimaan pajak dengan pertumbuhan PDB nominal. Tax buoyancy di atas satu menunjukkan penerimaan pajak mampu tumbuh dengan tingkat lebih tinggi ketimbang pertumbuhan PDB nominalnya.
Sebaliknya, tax buoyancy berada di bawah 1 menunjukkan pajak tidak mampu tumbuh sejalan dengan PDB nominal. Hal ini mengindikasikan adanya potensi pajak tertentu yang belum maksimal dipungut pajaknya. (rig)