Ilustrasi gedung Kemenkeu.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah pusat berencana melakukan rasionalisasi pajak daerah melalui omnibus law perpajakan. Ada sejumlah aspek yang perlu diperhatikan pemerintah pusat agar kebijakan tersebut minim risiko.
Hal tersebut menjadi salah satu topik yang dibahas DDTC Fiscal Research dalam Indonesia Taxation Quarterly Report (Q4-2019) bertajuk ‘Anticipating Compliance Risk Management’. Download laporan di sini. Langkah pemerintah pusat dapat dipahami sebagai upaya mengatasi hambatan investasi.
“Pemerintah pusat tampaknya ingin membangun spirit yang sama antara pusat dan daerah dalam menggairahkan ekonomi. Tujuannya tidak lain agar perbedaan perlakuan pajak antar daerah tidak menjadi penghambat,” demikian pernyataan DDTC Fiscal Research.
Agar tujuan positif tersebut tidak membawa efek samping negatif, DDTC Fiscal Research menyodorkan sejumlah aspek yang masih perlu dijawab pemerintah. Mitigasi dari sejumlah aspek tersebut perlu dipikirkan dari sekarang jika pemerintah ingin melakukan rasionalisasi pajak daerah.
Pertama, jika pemerintah pusat hendak mengintervensi tarif pajak daerah tertentu, akan ada 'biaya' yang dikeluarkan, baik dari segi waktu, energi, dan juga politik. Daerah terkait harus berupaya merevisi peraturan dan semua instrumen terkait.
Untuk mengantisipasi hal ini, pemerintah pusat harus mempertimbangkan bagaimana meminimalkan beban dan mempermudah proses di daerah. Pemerintah daerah pada akhirnya juga harus memiliki pemahaman yang sama dengan pemerintah pusat.
“Untuk memastikan hal itu, peraturan turunan harus dapat mengklarifikasi proses secara terperinci, termasuk koridor desain kebijakan apa yang harus diikuti, berapa lama pemerintah daerah harus mengubah tarif pajaknya ketika sedang diintervensi, dan teknis lainnya,” jelas DDTC Fiscal Research.
Kedua, harus dipahami bahwa beban pajak tidak hanya ditentukan oleh tarif, tapi juga perhitungan basis pajak. Pemerintah pusat harus memastikan bahwa tidak ada 'ruang' yang dapat dieksploitasi untuk melanggar semangat omnibus law.
Ketiga, tidak dipungkiri, rencana omnibus law perpajakan berpotensi akan membatasi kebebasan pemerintah daerah dalam memutuskan apa yang terbaik untuk meningkatkan kinerja pendapatan mereka. Dalam jangka pendek, pemerintah daerah masih akan mengandalkan dana transfer.
“Dengan itu, pemerintah pusat seharusnya mempertimbangkan hal ini dalam kebijakan perimbangan keuangan pemerintah daerah,” imbuh DDTC Fiscal Research.
Keempat, harus ada jaminan bahwa perubahan peraturan daerah setempat sesuai dengan prosedur. Untuk itu, diperlukan tata cara dan prosedur yang tepat agar tujuan baik dari omnibus law perpajakan dapat tercapai dengan tetap menjaga harmonisasi dengan setiap pemangku kepentingan.
“Tidak ada kebijakan 'terbaik' dalam perpajakan. Apa yang dapat kita capai adalah memilih yang terbaik dari pilihan yang mungkin, sambil mencegah dan meminimalkan risiko yang tidak diinginkan,” demikian pernyataan DDTC Fiscal Research.
Sekadar informasi, kehadiran Indonesia Taxation Quarterly Report menjadi wujud nyata salah satu visi DDTC, yaitu untuk mengeliminasi asimetri informasi pajak. Sebagai institusi pajak berbasis riset dan pengetahuan, laporan rutin kuartalan itu diharapkan juga berpengaruh dan berkontribusi bagi Indonesia dalam menentukan arah kebijakan pajaknya di masa mendatang. (kaw)