JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah mencatat setidaknya terdapat 4 sektor perekonomian dengan aktivitas shadow economy tinggi.
Merujuk pada Nota Keuangan RAPBN 2026, keempat sektor dimaksud antara lain perdagangan eceran, makanan dan minuman, perdagangan emas, serta perikanan. Pemerintah akan memfokuskan pengawasan atas keempat sektor tersebut.
"Ke depan, pemerintah akan fokus mengawasi sektor-sektor dengan aktivitas shadow economy yang tinggi seperti perdagangan eceran, makanan dan minuman, perdagangan emas, serta perikanan," tulis pemerintah dalam Nota Keuangan RAPBN 2026, dikutip pada Minggu (17/8/2025).
Secara umum, pemerintah berpandangan persoalan shadow economy yang menggerus basis penerimaan pajak masih harus terus diatasi. Pemerintah telah dan akan melakukan langkah strategis, terintegrasi, dan sistematis untuk mengatasi masalah dimaksud.
Langkah-langkah yang sudah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi shadow economy antara lain dengan mengukur dan memetakan shadow economy, menyusun compliance improvement program khusus shadow economy, dan melakukan analisis intelijen untuk menegakkan hukum terhadap wajib pajak berisiko tinggi.
"Pemerintah juga akan melakukan kajian intelijen dalam rangka penggalian potensi shadow economy tersebut," tulis pemerintah dalam Nota Keuangan RAPBN 2026.
Langkah-langkah konkret yang diambil pemerintah guna memitigasi dampak shadow economy antara lain mengintegrasikan NIK dan NPWP: menerapkan coretax system, hingga melakukan canvassing guna mendata dan menjangkau wajib pajak yang belum terdaftar.
Tak hanya itu, pemerintah juga menunjuk entitas yang berkedudukan di luar negeri sebagai pemungut PPN atas transaksi digital dalam rangka meningkatkan pengawasan dan penerimaan.
Sebagai informasi, shadow economy adalah aktivitas-aktivitas ekonomi yang berkontribusi terhadap penghitungan produk nasional bruto dan produk domestik bruto, tetapi masih belum terdaftar dan tercatat.
Besarnya proporsi shadow economy terhadap perekonomian nasional menjadi salah satu sebab tak optimalnya penerimaan pajak Indonesia. Menurut Medina dan Schneider (2018), proporsi shadow economy Indonesia diperkirakan mencapai 26,6% dari PDB.
Para pelaku shadow economy seringkali tidak terdaftar sebagai wajib pajak. Akibatnya, selisih antara wajib pajak yang terdaftar dan wajib pajak yang seharusnya terdaftar menjadi kian lebar. Banyaknya pelaku usaha yang tidak tercakup oleh sistem administrasi pajak menyebabkan banyak potensi pajak menjadi tidak tergali dan menimbulkan tax gap. (rig)