BERITA PAJAK HARI INI

DJP Perinci Mekanisme Pengawasan PKP

Redaksi DDTCNews
Senin, 16 Juni 2025 | 07.45 WIB
DJP Perinci Mekanisme Pengawasan PKP

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-7/PJ/2025 yang memerinci mekanisme pengawasan dalam rangka pengadministrasian pengusaha kena pajak (PKP). Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (16/6/2025).

Secara umum, Ditjen Pajak (DJP) akan melakukan pengawasan dalam rangka pengadministrasian PKP dengan menguji pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif sebagai PKP. Pengujian dilakukan dengan melakukan penelitian lapangan di alamat tempat tinggal, tempat kedudukan, ataupun tempat kegiatan usaha PKP.

"Pengujian pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif sebagai PKP ... dilakukan kepada PKP dengan kriteria sebagai berikut: PKP yang baru memulai kewajiban sebagai PKP; PKP yang dilakukan pemindahan tempat wajib pajak terdaftar berdasarkan surat pindah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2); dan/atau PKP yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya," bunyi Pasal 56 ayat (3) PER-7/PJ/2025.

Pengujian pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif PKP dilakukan penelitian lapangan di alamat tempat tinggal, tempat kedudukan, ataupun tempat kegiatan usaha PKP guna menguji kesesuaian lokasi usaha dan kegiatan usaha PKP dengan data yang disampaikan oleh PKP ketika mengajukan permohonan pengukuhan PKP.

Pengujian terhadap PKP yang baru memulai kewajiban sebagai PKP dan PKP yang baru berpindah tempat wajib pajak terdaftar berdasarkan surat pindah dilakukan dalam jangka waktu 30 hari setelah tanggal pengukuhan atau tanggal surat pindah.

PER-7/PJ/2025 telah ditetapkan pada 21 Mei 2025 dan dinyatakan mulai berlaku pada tanggal tersebut.

Dalam ketentuan peralihan dari PER-7/PJ/2025, disebutkan dalam hal PKP baru memulai kewajiban sebagai PKP baru atau memindah tempat wajib pajak terdaftar sejak 1 Januari sampai dengan berlakunya PER-7/PJ/2025, pengawasan sebagaimana diatur dalam Pasal 56 PER-7/PJ/2025 dilakukan maksimal 3 bulan sejak berlakunya PER-7/PJ/2025.

Sebagai informasi, PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP/JKP berdasarkan UU PPN. Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP bila omzetnya sudah melebihi Rp4,8 miliar per tahun.

Pengusaha perlu melaporkan usahanya di KPP tempat pengusaha terdaftar sebagai wajib pajak. Bagi wajib pajak orang pribadi, tempat wajib pajak terdaftar adalah tempat tinggal. Bagi wajib pajak badan, tempat wajib pajak terdaftar adalah tempat kedudukan.

Selain pengawasan PKP, terdapat pembahasan mengenai kriteria dan syarat penetapan wajib pajak nonaktif serta kriteria wajib pajak yang bisa ditetapkan sebagai pemungut bea meterai. Selain itu, ada pula pembahasan mengenai perbaikan coretax administration system dan dukungan publik terhadap pengesahan RUU Perampasan Aset.

Berikut ulasan artikel perpajakan selengkapnya.

Perincian Kriteria dan Syarat Penetapan WP Nonaktif

Melalui PER-7/PJ/2025, DJP juga memerinci kriteria penetapan wajib pajak nonaktif secara jabatan. Merujuk Pasal 34 ayat (2) PER-7/PJ/2025, penetapan wajib pajak nonaktif dilakukan atas wajib pajak yang memenuhi salah satu di antara 8 kriteria.

Sesuai dengan ketentuan, kepala kantor pelayanan pajak (KPP) dapat menetapkan wajib pajak nonaktif (dulu disebut wajib pajak nonefektif) berdasarkan permohonan wajib pajak atau secara jabatan.

"Wajib pajak nonaktif adalah wajib pajak yang tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif namun belum dilakukan penghapusan NPWP," bunyi Pasal 1 angka 20 PER-7/PJ/2025. (DDTCNews)

Kriteria WP yang Bisa Ditetapkan sebagai Pemungut Bea Meterai

PER-7/PJ/2025 turut mengatur kriteria wajib pajak yang dapat ditetapkan sebagai pemungut bea meterai.

Wajib pajak yang ditetapkan sebagai pemungut bea meterai merupakan wajib pajak dengan kriteria antara lain memfasilitasi penerbitan surat berharga berupa cek dan/atau bilyet giro. Wajib pajak yang menerbitkan dan/atau memfasilitasi penerbitan dokumen transaksi surat berharga termasuk dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun juga dapat ditetapkan sebagai pemungut bea meterai.

Selain itu, wajib pajak juga dapat ditetapkan sebagai pemungut bea meterai jika menerbitkan dan/atau memfasilitasi penerbitan dokumen berupa surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya; dan/atau dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp5 juta. (DDTCNews)

Luhut: Coretax Akan Berfungsi Baik 1-2 Tahun Lagi

Dewan Ekonomi Nasional (DEN) berpandangan coretax system baru akan berfungsi dengan baik dalam 1 atau 2 tahun mendatang.

Kepala DEN Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan coretax system merupakan bagian dari program digitalisasi nasional yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 1,5%. Namun, masih dibutuhkan waktu untuk memperbaiki berbagai berbagai kendala pada sistem baru tersebut.

"Saya percaya coretax akan berfungsi dengan baik dalam 1 atau 2 tahun. Ini dapat membantu sekitar 1,5% terhadap pertumbuhan ekonomi kita," ujar Luhut. (DDTCNews, Bisnis Indonesia, CNBC Indonesia)

Coretax System untuk Optimalisasi Penerimaan Pajak

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga kembali meminta jajarannya di DJP untuk segera memperbaiki semua kendala dalam penerapan coretax system. Hal itu disampaikan dalam pelantikan pejabat eselon II Kemenkeu, pekan lalu.

Sri Mulyani mengatakan perbaikan coretax system diperlukan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak. Dengan perbaikan tersebut, dia berharap coretax system mampu memberikan kemudahan administrasi perpajakan, baik bagi fiskus maupun wajib pajak.

"Perbaiki sistem coretax yang sedang kita bangun. Jalankan dan yakinkan bisa berfungsi untuk melayani wajib pajak secara mudah dan mampu untuk mengumpulkan penerimaan pajak secara efisien, akuntabel, dan adil," katanya. (DDTCNews)

Publik Dukung Pengesahan RUU Perampasan Aset

Litbang Kompas merilis hasil survei mengenai pandangan publik terhadap RUU Perampasan Aset.

Dari jajak pendapat yang dilaksanakan pada 19-22 Mei 2025, hanya sekitar 23% responden yang mengetahui RUU ini. Hal ini mengindikasikan sosialisasi mengenai RUU tersebut masih rendah.

Meski demikian, publik tidak ingin wacana RUU Perampasan Aset terus menguap. Sebanyak 92,5% responden berharap RUU tersebut segera disetujui DPR. (Kompas)

Editor : Dian Kurniati
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.