DDTC EXCLUSIVE GATHERING 2025

Mitigasi Risiko Pajak, Kondisi Fiskal dan Regulasi Perlu Dicermati

Muhamad Wildan
Rabu, 26 Februari 2025 | 14.45 WIB
Mitigasi Risiko Pajak, Kondisi Fiskal dan Regulasi Perlu Dicermati

Director of Fiscal Research and Advisory DDTC Bawono Kristiaji dalam DDTC Exclusive Gathering: Addressing Tax Challenges, Optimizing Business in 2025, Rabu (26/2/2025).

JAKARTA, DDTCNews - Wajib pajak perlu mencermati kondisi fiskal dan perkembangan lanskap pajak terkini guna memitigasi risiko perpajakan yang berpotensi muncul di kemudian hari.

Director of Fiscal Research and Advisory DDTC Bawono Kristiaji mengatakan pemerintah saat ini menghadapi tekanan fiskal yang cukup menantang akibat rendahnya rasio pajak dan tingginya belanja yang direncanakan.

"Bagaimana kita memetakan sistem perpajakan ke depan itu tidak bisa dilepaskan dari situasi fiskal. Kita tahu penerimaan perpajakan kita tidak terlalu istimewa. Namun, di sisi lain, ada agenda-agenda dari sisi belanja yang ambisius," katanya dalam DDTC Exclusive Gathering: Addressing Tax Challenges, Optimizing Business in 2025, Rabu (26/2/2025).

Tahun ini, target belanja negara dipatok senilai Rp3.621,3 triliun, sedangkan penerimaan perpajakan mencapai Rp2.490,9 triliun. Target penerimaan tersebut naik 10% dari realisasi 2024. Kenaikan target penerimaan perpajakan tersebut pada gilirannya bakal ditanggung oleh wajib pajak.

"Ingat, nantinya beban pajak atau bagaimana kontribusi dana pembangunan ini berasal dari wajib pajak," ujar Bawono.

Akibat tekanan fiskal tersebut, pemerintah perlu melakukan beragam penyesuaian regulasi pajak guna memenuhi kebutuhan penerimaan. Masalahnya, penyesuaian regulasi dimaksud justru meningkatkan kompleksitas sistem perpajakan yang berlaku.

DDTC Fiscal Research and Advisory mencatat setidaknya secara rata-rata ada sekitar 100 produk hukum baru di bidang perpajakan yang diterbitkan oleh pemerintah setiap tahunnya, mulai dari undang-undang hingga peraturan dirjen. Kondisi ini tentu perlu menjadi perhatian wajib pajak.

Survei yang dilakukan Thomas Hoppe et al dalam jurnal bertajuk The Tax Complexity Index - A Survey-Based Country Measure of Tax Code and Framework Complexity juga menunjukkan sistem pajak Indonesia tergolong lebih kompleks ketimbang negara-negara lain.

Dari total total 64 negara yang disurvei, Indonesia memperoleh peringkat 56 dengan tax complexity index senilai 0,44. Makin tinggi tax complexity index maka makin kompleks pula sistem pajak yang berlaku di negara tersebut.

"Sistem pajak kita yang makin kompleks ini akan berdampak pada wajib pajak. Jadi, tekanan fiskal sudah meningkat dan sistem perpajakan juga kompleks. Wajib pajak tentu akan sulit catch up dan adjust. Ini menimbulkan kompleksitas," tutur Bawono.

Di luar tekanan fiskal dan kompleksitas sistem pajak, wajib pajak juga dihadapkan dengan ketidakpastian akibat transformasi aspek kelembagaan. Contoh, rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara sebagaimana disebutkan dalam RPJMN 2025-2029. 

Selain itu, pembinaan Pengadilan Pajak juga akan sepenuhnya dialihkan ke Mahkamah Agung (MA) sesuai dengan Putusan MK Nomor 26/PUU-XXI/2023. Proses tersebut berpotensi memberikan dampak terhadap peranan Pengadilan Pajak dalam melindungi hak-hak wajib pajak.

"Apakah upaya mencari keadilan dalam sistem pajak akan lebih berketidakpastian? Ini pertanyaan yang harus kita jawab bersama, kita perlu mitigasi dan monitor terus menerus," ujar Bawono.

Melihat beragam risiko di atas, wajib pajak perlu mengidentifikasi risiko-risiko agar dapat dimitigasi sejak dini. Terdapat beberapa langkah yang dapat diambil. Pertama, menjadikan aspek pajak sebagai bagian dari business decision making.

"Kalau pajak tidak dari awal menjadi bagian dari bagaimana kita membuat strategi, kita sesungguhnya menunggu bom waktunya saja di ujung," tutur Bawono.

Kedua, wajib pajak perlu ikut terlibat secara aktif dalam menentukan desain kebijakan pajak. Ketiga, wajib pajak harus memandang pajak dengan sudut pandang yang lebih luas, bukan sebatas pendokumentasian, pengadministrasian, dan pembayaran pajak semata.

"Bayangkan kalau kita menempatkan fungsi pajak dalam ex ante perspective atau sebelum terjadinya transaksi, ini akan jauh lebih baik. Pengalaman konsultan pajak di negara lain itu beyond compliance dan dispute, tetapi in advance ada kepastian melalui strategic tax risk management," kata Bawono.

Keempat, wajib pajak perlu secara aktif memonitor dan melakukan asesmen terhadap dampak yang berpotensi timbul dari kebijakan fiskal dan perpajakan terkini.

Kelima, wajib pajak perlu memandang advokasi kebijakan sebagai upaya memperoleh permanent solution atas isu perpajakan yang dihadapi. Advokasi diperlukan agar pemerintah terdorong untuk membuat regulasi pajak yang sesuai dengan kebutuhan wajib pajak.

"Permanent solution itu bagus bagi perusahaan ketimbang bersengketa setiap tahunnya," ujar Bawono. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.