KEBIJAKAN PAJAK

Pajak Karbon Belum Berlaku, Kebijakan Disinsentif Bisa Lewat Pasar

Dian Kurniati
Minggu, 06 Oktober 2024 | 13.00 WIB
Pajak Karbon Belum Berlaku, Kebijakan Disinsentif Bisa Lewat Pasar

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - Bursa Efek Indonesia (BEI) menilai perusahaan penghasil karbon tinggi memang perlu diberikan disinsentif.

Direktur Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik mengatakan bentuk disinsentif bisa diberikan melalui pengenaan pajak karbon. Namun, sembari menunggu penerapan pajak karbon, perusahaan yang menghasilkan banyak karbon juga bisa mendapat disinsentif dalam bentuk tekanan pasar.

"Tentu kami harap akan ada pajak karbon dan lain-lain. Namun, untuk saat ini, disinsentif yang paling berat adalah hukuman dari pasar," katanya, dikutip pada Minggu (6/10/2024).

Jeffrey menuturkan penurunan emisi karbon membutuhkan partisipasi dari banyak pelaku usaha. Menurutnya, pajak karbon dapat diterapkan untuk melengkapi skema perdagangan karbon, termasuk melalui bursa karbon, yang telah berjalan.

UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) telah mengatur pajak karbon semula direncanakan berlaku mulai 1 April 2022, tetapi belum terlaksana. Pajak karbon bakal dikenakan pertama kali atas PLTU batu bara.

Pajak karbon rencananya akan melengkapi skema perdagangan karbon yang telah diluncurkan pada tahun lalu. Jika pajak karbon sudah berlaku, pelaku usaha yang emisinya melampaui cap akan punya opsi membeli kredit karbon di bursa atau membayar pajak karbon.

Sementara itu, bursa karbon diselenggarakan berdasarkan UU 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) serta Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 14/2023. Sesuai dengan POJK tersebut, OJK menunjuk BEI sebagai penyelenggara bursa karbon.

Jeffrey menjelaskan volume transaksi bursa karbon telah mencapai 613.894 ton karbon dioksida ekuivalen dalam setahun sejak diluncurkan pada 26 September 2023.

Transaksi pada bursa karbon dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan negara seperti Malaysia dan Jepang, yang meluncurkan bursa karbon relatif dalam waktu yang berdekatan dengan Indonesia. Nilai dari transaksi bursa karbon tersebut mencapai Rp37,05 miliar.

Sejauh ini, transaksi bursa karbon berasal dari 3 proyek di sektor ketenagalistrikan, yakni proyek Lahendong dari PT Pertamina Geothermal Energy, serta pembangunan pembangkit listrik baru berbahan bakar gas bumi di Muara Karang dan pengoperasian pembangkit listrik tenaga air di Gunung Wugul dari PT PLN.

Dari 613.894 ton karbon yang ditransaksikan, 420.030 ton karbon telah dilakukan retirement atas sertifikat pengurangan emisi gas rumah kaca (SPE-GRK). Retirement tersebut dilakukan oleh 334 entitas yang terdiri atas 219 individu, 109 perusahaan, dan 6 kegiatan.

Walaupun pajak karbon belum berlaku, Jeffrey berharap makin banyak perusahaan yang bertransaksi di bursa karbon untuk mendukung penurunan emisi. Terlebih, ketika pelaku pasar mulai memberikan perhatian terhadap isu pelestarian lingkungan.

"Kita sudah melihat kejadian di beberapa negara saat pasar menghukum satu perusahaan itu bisa kehilangan nilai puluhan triliun dalam waktu beberapa hari saja," ujarnya. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.