Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai DJBC Iyan Rubianto.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) menyatakan pemerintah terus mematangkan rencana ekstensifikasi barang kena cukai (BKC).
Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai DJBC Iyan Rubianto mengatakan terdapat setidaknya 7 alasan ekstensifikasi BKC perlu dilaksanakan. Meski demikian, lanjutnya, implementasi objek cukai baru perlu memperhatikan kondisi perekonomian nasional.
"Jangan sampai kemudian kita menggunakan cukai ini dan menghambat atau menurunkan produksi, ekonomi, atau industri," katanya dalam kuliah umum di PKN STAN, Jumat (19/7/2024).
Iyan mengatakan urgensi pertama ekstensifikasi BKC yakni jumlah BKC di Indonesia masih sangat terbatas dan sedikit dibandingkan dengan negara lain. Indonesia saat ini hanya menerapkan 3 BKC, paling sedikit di antara negara Asean.
Misal Vietnam memiliki 16 BKC, Laos 18 BKC, Thailand 21 BKC, dan Brunei Darussalam 22 BKC.
Kedua, penerimaan cukai di Indonesia masih sangat tergantung pada cukai hasil tembakau (CHT). Kontribusi CHT dapat mencapai 95% dari total penerimaan cukai.
Ketiga, rasio penerimaan cukai dibandingkan dengan perpajakan secara keseluruhan masih rendah. Keempat, rasio penerimaan BKC terhadap PDB juga kecil.
Kelima, terdapat sustainability issue karena ketergantungan pada 1 objek cukai, yakni CHT.
"Selama ini teman-teman [pengusaha] di hasil tembakau merasa dieksploitasi karena memang 85%-95% [penerimaan cukai] dari hasil tembakau. Padahal sebenarnya ini bukan eksploitasi," ujarnya.
Urgensi keenam ekstensifikasi BKC yakni mengenai isu lingkungan dan kesehatan yang harus segera diadopsi. Adapun urgensi ketujuh, instrumen cukai dapat menjadi instrumen untuk mewujudkan keadilan dan keseimbangan sosial.
Iyan menambahkan UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) telah mengamanatkan penambahan atau pengurangan objek cukai perlu dibahas dengan DPR dan masuk dalam UU APBN. Dalam beberapa tahun terakhir, rencana ekstensifikasi BKC juga telah disampaikan kepada DPR.
Setelahnya, pemerintah akan merancang peraturan pemerintah (PP) sebagai payung hukum pengaturan penambahan jenis barang yang dikenakan cukai.
"Ini tidak mudah. Nanti ujung-ujungnya kalau sudah ada ini [PP], tinggal menunggu kondisi masyarakat dan kemudian juga perekonomian," imbuhnya.
Pemerintah mulai mewacanakan pengenaan cukai plastik sejak 2016. Pada APBNP 2016, pemerintah untuk pertama kali mulai menetapkan target penerimaan cukai plastik senilai Rp1 triliun.
Target penerimaan cukai plastik secara konsisten masuk dalam APBN. Adapun pada tahun 2024, target cukai plastik ditetapkan senilai Rp1,84 triliun.
Sementara mengenai cukai MBDK, pemerintah mulai menyampaikannya kepada DPR pada awal 2020. Pemerintah dan DPR kemudian mematok target penerimaan cukai MBDK untuk pertama kalinya pada APBN 2022 senilai Rp1,5 triliun.
Pada 2024, target penerimaan cukai MBDK ditetapkan senilai 4,38 triliun.
Melalui dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025, pemerintah pun kembali menuliskan rencana pengenaan cukai terhadap produk plastik dan BMDK pada tahun depan. Rencana ekstensifikasi BKC sebagai salah satu kebijakan untuk mendukung penerimaan negara. (sap)