Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (atas, kanan) menyampaikan keterangan pemerintah terhadap RUU tentang Pertanggungjawaban Atas Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2023 dalam rapat paripurna ke-20 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2023-2024 di Gedung Nusantara II, kompleks Parlemen, Senayan, Kamis (4/7/2024). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/tom.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah berkomitmen untuk menindaklanjuti temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam rangka menyelesaikan permasalahan perpajakan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2023 akan ditindaklanjuti guna meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan negara pada masa mendatang.
"Kami akan senantiasa mendorong penyelesaian permasalahan perpajakan melalui evaluasi dan penyempurnaan proses bisnis untuk menghindarkan kesalahan pencatatan pada masa mendatang," katanya dalam rapat paripurna, Kamis (4/7/2024)
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas LKPP 2023, BPK menyampaikan 14 temuan. Dari jumlah tersebut 3 temuan di antaranya terkait dengan pajak. Pertama, BPK mencatat Ditjen Pajak (DJP) masih belum melakukan tindakan penagihan aktif secara optimal atas piutang pajak.
Akibat masalah tersebut, penerimaan atas piutang macet senilai Rp5,37 triliun tidak dapat segera dimanfaatkan. DJP juga kehilangan untuk menagih piutang pajak senilai Rp461,78 miliar yang sudah daluwarsa penagihan.
Menurut BPK, masalah ini timbul akibat tidak optimalnya pengawasan dan pengendalian atas kegiatan penagihan terhadap 10.097 ketetapan serta kurang cermatnya inventarisasi piutang macet.
BPK pun merekomendasikan kepada DJP untuk lebih optimal dalam mengawasi dan mengendalikan kegiatan penagihan pajak. DJP juga diminta untuk melakukan inventarisasi atas piutang macet yang belum daluwarsa penagihan senilai Rp5,37 triliun dan melakukan penagihan aktif sesuai ketentuan.
Kedua, BPK juga menyoroti adanya indikasi PPh dan PPN yang kurang disetor senilai Rp5,82 triliun dan sanksi administrasi senilai Rp341,8 miliar.
Masalah tersebut disebabkan oleh kurang optimalnya evaluasi, pengembangan, dan penyempurnaan sistem informasi DJP agar dapat melakukan komunikasi antarsubsistem dan rekonsiliasi data.
KPP juga belum optimal dalam melakukan pengawasan berjenjang atas upaya perpajakan atas kekurangan dan keterlambatan pembayaran pajak. BPK pun merekomendasikan kepada DJP untuk menyempurnakan SIDJP agar bisa melakukan komunikasi antarsubsistem dan validasi data.
Selain itu, KPP perlu mengoptimalkan pengawasan berjenjang dan segera meneliti indikasi kekurangan pembayaran pajak senilai Rp5,82 triliun dan sanksi senilai Rp341,8 miliar.
Ketiga, BPK menyoroti perencanaan dan penganggaran kebijakan insentif PPN ditanggung pemerintah (DTP) atas mobil listrik dan rumah serta PPh DTP atas panas bumi yang masih belum memadai.
Akibat masalah tersebut, pendapatan pajak DTP dan subsidi pajak DTP atas penyerahan mobil listrik, rumah, dan setoran bagian pemerintah (SBP) dari pengusaha panas bumi minimal senilai Rp1,42 triliun tidak dapat dilakukan pengesahan dan pertanggungjawaban dalam laporan realisasi anggaran 2023.
BPK merekomendasikan BKF untuk berkoordinasi dengan kuasa pengguna anggaran (KPA) belanja subsidi pajak DTP terkait dengan pemenuhan permintaan pertimbangan proyeksi kebutuhan pajak DTP dengan memperhatikan tahapan dan batas waktu perencanaan anggaran.
DJP juga harus berkoordinasi dengan Ditjen Anggaran (DJA) dalam merencanakan dan menganggarkan belanja subsidi pajak DTP serta mengusulkan pergeseran anggaran untuk memenuhi kebutuhan tambahan belanja subsidi.
Tak hanya itu, DJP juga diminta untuk berkoordinasi dengan Kementerian PUPR dalam rangka mendapatkan data sumber yang diperlukan untuk penghitungan realisasi PPN DTP rumah secara periodik.
Selain temuan mengenai pajak, 11 temuan nonpajak juga disampaikan oleh BPK. Pertama, kualitas perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan anggaran serta keselarasan antara pelaporan keuangan dan kinerja belum sepenuhnya memadai.
Kedua, pengelolaan PNBP senilai Rp6,81 triliun pada 42 K/L dan pengelolaan piutang PNBP senilai Rp3,51 triliun pada 17 K/L belum sesuai ketentuan.
Ketiga, rekonsiliasi volume dan harga gas bumi tertentu (HGBT) 2020-2023 belum selesai dilaksanakan dan belum terdapat evaluasi menyeluruh atas implementasi HGBT di bidang industri.
Keempat, mandatory spending pendidikan pada APBN 2023 belum didukung dengan perencanaan program yang memadai. Kelima, penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban belanja di 81 K/L senilai Rp7,05 triliun belum sesuai ketentuan.
Keenam, perencanaan dan penganggaran DAU 2023 untuk penggajian pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) daerah belum memadai.
Ketujuh, kebijakan prefunding untuk pembiayaan 2023 lewat penerbitan SBN pada akhir 2023 belum memadai dan tidak didukung dengan ketentuan teknis yang memadai.
Kedelapan, pengelolaan kas dan rekening K/L belum memadai dan aplikasi SPRINT Kemenkeu belum mampu mendukung pelaporan kas yang akurat. Kesembilan, pengaturan persetujuan perubahan penggunaan PMN yang belum dimanfaatkan belum memadai.
Kesepuluh, pengelolaan persediaan, aset tetap, properti investasi, aset tak berwujud, dan aset lain-lain belum sepenuhnya memadai. Kesebelas, pelaksanaan anggaran atas pekerjaan yang belum diselesaikan lewat mekanisme rekening penampungan akhir tahun anggaran (RPATA) belum didukung pengaturan yang jelas. (rig)