Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Orang pribadi atau badan hukum yang mengajukan keberatan kepada Ditjen Pajak (DJBC) wajib menyerahkan jaminan. Hal ini sebagaimana diatur dalam PMK 51/2017 s.t.d.d PMK 136/2022.
Jaminan dalam konteks ini adalah garansi pembayaran pungutan negara dalam rangka kegiatan kepabeanan, cukai, dan/atau pemenuhan kewajiban yang dipersyaratkan. Jaminan itu harus diserahkan sebesar tagihan bea masuk, cukai, pajak dalam rangka impor (PDRI), atau sanksi yang harus dibayar.
“Orang [orang pribadi atau badan hukum] yang mengajukan keberatan, wajib menyerahkan jaminan sebesar tagihan yang harus dibayar,” bunyi Pasal 5 ayat (1) PMK 51/2017 s.t.d.d PMK 136/2022, dikutip pada Selasa (11/6/2024).
Untuk keberatan di bidang kepabeanan, bentuk jaminan sesuai dengan ketentuan yang mengatur soal jaminan. Bentuk jaminan dalam rangka keberatan di bidang cukai bisa berupa jaminan tunai, jaminan bank, atau jaminan dari perusahaan asuransi. Simak ‘Apa Itu Jaminan dalam Kepabeanan dan Cukai?’.
Adapun jaminan tersebut harus memiliki masa penjaminan minimal 60 hari sejak tanggal tanda terima berkas pengajuan keberatan. Selain itu, jaminan tersebut harus memiliki masa pengajuan klaim jaminan selama 30 hari sejak berakhirnya jangka waktu jaminan.
Atas penyerahan jaminan, orang atau badan hukum akan mendapat bukti penerimaan jaminan. Bukti penerimaan jaminan tersebut wajib dilampirkan dalam surat keberatan.
Namun, tidak semua pengajuan keberatan harus disertai dengan jaminan. Sebab, pemerintah telah mengatur 3 kondisi yang dikecualikan dari kewajiban penyerahan jaminan dalam rangka keberatan di bidang kepabeanan.
Pertama, barang impor belum dikeluarkan dari kawasan pabean. Kedua, tagihan telah dilunasi. Ketiga, penetapan pejabat bea dan cukai tidak menimbulkan kekurangan pembayaran. Ketentuan lebih lanjut mengenai keberatan di bidang kepabeanan dan cukai serta jaminan yang harus diserahkan dapat disimak dalam PMK 51/2017 s.t.d.d PMK 136/2022. (kaw)