Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan keterangan saat konferensi pers APBN KiTa edisi April 2024 di Jakarta, Jumat (26/4/2024). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/foc.
JAKARTA, DDTCNews - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan reformasi pajak di Indonesia dilakukan salah satunya dengan mengadopsi prinsip dan standar perpajakan yang berlaku dan telah disepakati di level global.
Sri Mulyani mengatakan saat ini yurisdiksi-yurisdiksi memilih untuk menempuh langkah-langkah multilateral untuk menindaklanjuti beragam isu perpajakan terkini.
"Pajak ini kita comply dengan global taxation principle yang makin lama makin synchronize baik dari sisi pertukaran informasi, enforcement, avoiding double taxation, dan combating tax evasion," ujar Sri Mulyani, Jumat (26/4/2024).
Mengingat globalisasi mempermudah orang sekaligus modal untuk berpindah secara lintas batas negara, yurisdiksi-yurisdiksi perlu bekerja sama antara satu dengan yang lain untuk menindaklanjuti isu pajak yang berkembang.
"Memang tidak mungkin satu otoritas menyelesaikan sendiri kalau dia [wajib pajak] bisa lari ke negara lain dan tidak ada kerja sama. Ini yang positive sign dari sisi global coordination dan cooperation," kata Sri Mulyani.
Adapun salah satu organisasi multinasional yang berperan aktif mengembangkan standar dan prinsip perpajakan adalah Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Mengingat Indonesia hendak menjadi anggota OECD, terdapat 8 core principle terkait dengan pajak yang perlu diadopsi oleh Indonesia. Kedelapan core principle tersebut tercantum dalam accession roadmap yang diterbitkan oleh OECD.
Delapan core principle tersebut antara lain, pertama, anggota OECD perlu berkomitmen untuk mengeliminasi pemajakan berganda tanpa menciptakan peluang non-taxation sejalan dengan OECD Model Tax Convention.
Kedua, anggota OECD harus berkomitmen untuk menyediakan data perpajakan yang diperlukan untuk mendukung penyusunan laporan-laporan perpajakan oleh CFA. Anggota OECD juga harus berkontribusi aktif dalam melakukan analisis atas kebijakan pajak demi terciptanya perekonomian yang inklusif dan tumbuh secara berkelanjutan.
Ketiga, anggota OECD harus berkomitmen untuk mengeliminasi pemajakan berganda dengan cara memastikan melalui penerapan arm's length principle sebagaimana dijabarkan dalam OECD Transfer Pricing Guidelines.
Keempat, anggota OECD harus mengatasi base erosion and profit shifting (BEPS) sejalan dengan rencana aksi BEPS dan solusi 2 pilar yang sedang dirumuskan oleh Inclusive Framework.
Kelima, anggota OECD harus mempertukarkan informasi perpajakan secara efektif sejalan dengan standar exchange of information on request (EOIR) dan automatic exchange of financial account information in tax matters (AEOI).
Keenam, anggota OECD harus mereduksi ketidakpastian dan risiko pemajakan berganda ketika menerapkan ketentuan PPN atas transaksi lintas yurisdiksi sejalan dengan International VAT/GST Guidelines yang dirilis OECD.
Ketujuh, anggota OECD harus memerangi tindak pidana pajak sejalan dengan Principles in Fighting Tax Crime: The Ten Global Principles.
Kedelapan, anggota OECD harus memberikan data yang diperlukan untuk mendukung penyusunan International Survey on Revenue Administration (ISORA). (sap)