Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah masih punya ruang untuk melakukan perbaikan regulasi tentang pengawasan bursa kripto selama masa transisi. Masa transisi yang dimaksud adalah peralihan pengawasan dari Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Seperti diketahui, pengawasan transaksi kripto secara resmi akan berada di bawah wewenang OJK mulai 2025 mendatang, setelah selama ini dijalankan oleh Bappebti.
"Dalam perjalanan sampai Januari 2025, masih ada kesempatan perbaikan regulasi. Bukan membongkar, tapi memperkuat. Karena ada beberapa [aspek] di Bappebti yang secara kewenangan belum bisa diakomodir. Ke depan bisa diakomodir oleh OJK," kata Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Perdagangan Berjangka Komoditi Bappebti Tirta Karma Senjaya, dikutip pada Jumat (2/2/2024).
Perbaikan regulasi tentang pengawasan transaksi aset kripto, menurut Tirta, perlu dilakukan. Hal ini lantaran peminat aset kripto terus bertambah. Hingga awal 2024, sudah ada sekitar 500 kegiatan usaha yang tergolong dalam KBLI blockchain, artificial intelligent (AI) machine learning, dan sertifikat digital.
"Kita harus sambut dengan baik karena pasar akan makin menarik. Kalau pasar menarik dan tidak didukung dengan ekosistem yang kondusif juga sia-sia," kata Tirta.
Transaksi aset kripto juga diprediksi akan terus meningkat pada tahun ini. Hal ini sejalan dengan momentum bitcoin halving yang akan berjalan pada 2024.
Tirta menyebutkan, bitcoin halving terakhir pada 2020 lalu berhasil membawa aset kripto tersebut pada all time high pada 2021. Fenomena serupa diharapkan bisa terjadi pada 2024-2025.
"[2024] kita sudah harus siap terbang karena sudah masuk persiapan bitcoin halving dan akan diikuti beberapa aset kripto lainnya. Pergerakannya sudah terlihat sejak November-Desember 2023," kata Tirta dalam Indonesia Crypto Outlook 2024 yang diselenggarakan Tokocrypto, dikutip pada Kamis (1/2/2024).
Bitcoin halving merupakan fenomena ketika imbal hasil penambangan bitcoin dipotong setengahnya. Hal ini bertujuan untuk menjaga nilai bitcoin (BTC) dan mengendalikan jumlah BTC yang beredar.
Nilai transaksi aset kripto memang menunjukkan tren kenaikan dari tahun ke tahun. Pada 2019 lalu, ketika perdagangan kripto pertama kali diatur di Indonesia, nilai transaksinya baru Rp64,9 triliun.
Berlanjut pada 2020 dan 2021, didukung dengan momentum digitalisasi akibat pandemi Covid-19, nilai transaksi aset kripto melonjak menjadi Rp859,4 triliun pada 2021. Bappebti sendiri menargetkan nilai transaksi kripto pada 2024 bisa kembali menyamai kinerja pada 2021 tersebut. (sap)