Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pajak karbon menjadi isu yang turut disinggung secara terbatas oleh ketiga cawapres dalam debat keempat capres-cawapres pada Minggu (21/1/2024).
Cawapres nomor urut 1 Muhaimin Iskandar memandang pajak karbon dapat menjadi instrumen yang penting untuk mencapai transisi energi. Menurutnya, pajak karbon perlu segera diterapkan bersamaan dengan kebijakan transisi energi untuk menurunkan produksi emisi karbon.
“Implementasi pajak karbon dilakukan secepat-cepatnya sekaligus transisi energi baru terbarukan dijalankan,” ujarnya dalam debat, dikutip pada Senin (22/1/2024).
Dalam kesempatan tersebut, Muhaimin Iskandar juga menyayangkan adanya penundaan implementasi pajak karbon yang sejatinya sudah diatur dalam undang-undang.
Dalam wawancara eksklusif dengan DDTCNews, Co-captain Timnas Anies-Muhaimin Thomas Lembong turut menyinggung rencana penerapan pajak karbon. Dia menjelaskan secara umum pengenaan pajak karbon akan membuat harga karbon ikut naik.
Dengan skema kebijakan ini, pajak akan berperan sebagai disinsentif sehingga hak untuk menciptakan emisi atau berpolusi bakal lebih mahal. Simak pula ‘Jangan Lewatkan! Wawancara Eksklusif 3 Tim Capres Bicara Soal Pajak’.
Tidak hanya berpihak pada lingkungan, lanjutnya, pajak karbon juga dapat menjadi instrumen untuk menciptakan keadilan. Alasannya, orang kaya biasanya menghasilkan lebih banyak emisi karbon sehingga pajak yang dibayarkan juga besar.
“Pajak karbon bakal cenderung progresif karena yang punya emisi karbon lebih tinggi biasanya dari orang-orang kaya. Yang pakai mobil gede, yang hidup di rumah besar dengan AC banyak, dan yang sering pelesiran," ujarnya.
Thomas mengestimasi emisi karbon yang dihasilkan suatu keluarga kaya bahkan ekuivalen dengan 100 atau 200 keluarga miskin. Oleh karena itu, pajak karbon menjadi contoh kebijakan yang rasional untuk diterapkan.
Namun, rencana penerapan jenis pajak karbon masih membutuhkan konsultasi publik dari pakar, ahli, pelaku usaha, dan organisasi masyarakat agar transparan. Hal ini termasuk pemilihan istilah. Pajak karbon nantinya dapat juga disebut denda karbon karena masyarakat cenderung tidak suka dipajaki.
"Mereka yang emisi karbonnya lebih banyak harus membayar denda karbon," imbuhnya.
Ketentuan pajak karbon telah dimuat dalam Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Implementasi pajak karbon dinilai sebagai bagian dari upaya pengendalian emisi karbon. Pajak karbon semua direncanakan berlaku mulai 1 April 2022, tapi hingga saat ini belum terimplementasi.
Pada tahapan awal, pajak karbon akan dikenakan pada PLTU batu bara dengan tarif Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Pajak karbon dikenakan menggunakan mekanisme cap and trade. (kaw)