Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyoroti Ditjen Pajak (DJP) yang sering kali kalah dalam sengketa yuridis perihal penerapan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) dalam penetapan branch profit tax (BPT) atas pelaksanaan kontrak bagi hasil migas.
Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I/2023 mencatat sengketa terjadi karena DJP menyatakan ketentuan kontrak bagi hasil lebih mendominasi pemajakan wajib pajak ketimbang P3B sehingga tarif BPT ditetapkan sesuai dengan Pasal 26 ayat (4) UU PPh sebesar 20%. Namun, wajib pajak (WP) menilai tarif BPT seharusnya sesuai dengan P3B, yaitu sebesar 10%.
"Data putusan pengadilan pajak menunjukkan terdapat 32 sengketa senilai US$239,95 juta dengan putusan 77,44% mengabulkan permohonan atau memenangkan WP selama 2021 dan 2022. Sisanya, menolak permohonan WP," bunyi IHPS I/2023, dikutip pada Selasa (5/12/2023).
Ketentuan mengenai BPT tertuang dalam PMK 257/2011. Beleid itu menyatakan BPT sebesar 20% dikenakan atas jumlah bruto penghasilan lain kontraktor kontrak kerja sama minyak dan gas bumi – di luar kontrak kerja sama – berupa uplift atau imbalan lain.
Uplift merupakan imbalan yang diterima kontraktor sehubungan dengan penyediaan dana talangan untuk pembiayaan operasi kontrak bagi hasil yang seharusnya merupakan kewajiban partisipasi kontraktor lain, yang ada dalam satu kontrak kerja sama, dalam pembiayaan.
BPK mencontohkan kasus sengketa terkait dengan tarif BPT. Pada 2020 dan 2021, pengadilan pajak dan Mahkamah Agung (MA) memenangkan WP J.1 atas sengketa pengenaan tarif BPT tahun pajak 2015-2017 senilai Rp1,03 triliun.
Kala itu, WP J.1 mengajukan permohonan untuk menggunakan tarif 10% berdasarkan P3B Indonesia-Inggris saat mengajukan banding dan peninjauan kembali. Permohonan tersebut kemudian dikabulkan oleh Pengadilan Pajak dan MA.
BPK menjelaskan DJP sebenarnya sempat menang dalam putusan banding dan peninjauan kembali atas sengketa serupa pada tahun pajak 2013 dan 2014.
Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK atas pembelaan DJP pada tahun pajak 2013 dan 2014, terdapat pendalilan yang tidak dilakukan pada 2015 hingga 2017, yaitu terkait dengan prinsip pemberlakuan P3B yang berlaku pada saat kontrak bagi hasil ditandatangani (nailed down).
Untuk tahun pajak 2016 dan sebelumnya, kontrak bagi hasil yang berlaku adalah kontrak bagi hasil yang ditandatangani pada 12 Februari 1987, yang berada di bawah hukum negara Liberia, yang sampai saat ini tidak memiliki P3B dengan Indonesia.
Dengan demikian, apabila menganut prinsip nailed down maka tarif BPT adalah sesuai dengan UU PPh yaitu sebesar 20%.
Untuk tahun pajak 2017, berlaku kontrak bagi hasil yang diteken pada 4 Maret 2005 oleh wajib pajak bersama 3 kontraktor lainnya. Dalam kontrak tersebut dinyatakan wajib pajak merupakan badan usaha yang dikelola dan berada di bawah hukum negara bagian Delaware, AS.
Sesuai dengan P3B Indonesia dan AS, tarif P3B dikecualikan dari kontrak karya dan kontrak bagi hasil bidang migas. Dengan demikian, tarif BPT yang berlaku adalah sesuai dengan UU PPh yaitu sebesar 20%.
BPK menyatakan hal tersebut mengakibatkan hilangnya peluang penerimaan pajak melalui sengketa pajak pada sektor migas yang dikabulkan oleh pengadilan pajak, dan berkurangnya penerimaan negara akibat restitusi dari perhitungan lebih bayar tahun pajak 2015-2017 atas WP J.1 senilai Rp1,03 triliun.
BPK pun merekomendasikan menteri keuangan untuk memerintahkan dirjen pajak berkoordinasi dengan aparat penegak hukum, Kementerian ESDM, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kemenlu, serta para ahli di bidang hukum dan migas.
Koordinasi tersebut diperlukan agar dirjen pajak dapat meminta pertimbangan hukum terkait dengan perlakuan P3B yang berlaku pada saat ditandatanganinya kontrak dalam pelaksanaan kontrak bagi hasil.
Selain itu, BPK merekomendasikan menteri keuangan menginstruksikan direktur kepatuhan internal dan transformasi sumber daya aparatur (KITSDA) mengevaluasi kinerja pembelaan tim sidang sengketa pajak WP J.1 tahun pajak 2015 hingga 2017.
BPK juga meminta menteri keuangan untuk memastikan ada atau tidaknya unsur kesengajaan terkait dengan tidak dilakukannya pendalilan penerapan P3B yang berlaku pada saat kontrak bagi hasil ditandatangani dan melaporkan hasil evaluasinya kepada BPK. (rig)