Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Menteri keuangan atau pejabat yang ditunjuk dapat menetapkan barang kena cukai (BKC) dan barang lain yang terkait dengan tindak pidana yang telah dilakukan penghentian penyidikan sebagai barang milik negara (BMN).
Untuk menetapkan BKC sebagai BMN, menteri atau pejabat yang ditunjuk akan terlebih dahulu menerbitkan keputusan mengenai penetapan sebagai BMN.
"Penetapan ... dilakukan paling lama 5 hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya keputusan jaksa agung atau pejabat yang ditunjuk mengenai penghentian penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara," bunyi Pasal 12 ayat (2) PP 54/2023, dikutip Senin (27/11/2023).
Tak hanya menetapkan BKC menjadi BMN, menteri dan pejabat yang ditunjuk juga bisa menetapkan barang lain yang terkait dengan tindak pidana menjadi BMN. Barang lain yang dimaksud mencakup sarana pengangkut, peralatan komunikasi, media atau tempat penyimpanan, dokumen dan surat, ataupun benda lain yang tersangkut tindak pidana di bidang cukai.
"Contoh benda lain yang tersangkut tindak pidana di bidang cukai seperti mesin pembuat BKC, mesin pengemas BKC, kemasan BKC, pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya, uang tunai, atau benda lain yang tersangkut tindak pidana di bidang cukai," bunyi ayat penjelas dari Pasal 11 ayat (3) huruf e PP 54/2023.
Untuk menetapkan barang lain menjadi BMN, menteri atau pejabat yang ditunjuk harus membuktikan bahwa barang lain tersebut merupakan barang milik tersangka dan barang tersebut telah disita oleh penyidik.
Bila barang lain dimaksud tidak ditetapkan sebagai BMN, barang tersebut harus dikembalikan kepada pihak yang dilakukan penyitaan atau kepada mereka yang berhak.
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penyelesaian BMN yang berasal dari tindak pidana di bidang cukai yang telah dilakukan penghentian penyidikan bakal diatur lebih lanjut lewat peraturan menteri keuangan (PMK).
Untuk diketahui, PP 54/2023 adalah aturan lebih lanjut guna melaksanakan penghentian penyidikan yang diamanatkan dalam UU Cukai s.t.d.d UU HPP.
Dalam bagian penjelasan dari PP 54/2023, pemerintah menyatakan bahwa sanksi pidana seharusnya menjadi upaya terakhir dalam penegakan hukum di bidang cukai. Pengenaan denda dipandang lebih memberikan efek jera dan manfaat ketimbang sanksi pidana.
Namun, selama ini pelanggaran yang melalui proses penyidikan masih belum memberikan efek jera bagi pelaku. Pasalnya, pelaku lebih memilih menjalani pidana kurungan sebagai pengganti denda ketimbang membayar pidana denda itu sendiri.
Oleh karena itu, PP 54/2023 terbit guna menerapkan konsep ultimum remedium. "Penerapan konsep ultimum remedium atas pelanggaran pidana di bidang cukai selaras dengan konsep penegakan hukum di bidang perpajakan berdasarkan UU HPP, dinilai sebagai perwujudan keadilan restoratif (restorative justice) yang lebih objektif," tulis pemerintah dalam penjelasan atas PP 54/2023.
Dalam Pasal 2 PP 54/2023, ditegaskan bahwa menteri keuangan, jaksa agung, atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang cukai paling lama dalam waktu 6 bulan sejak tanggal surat permintaan. Penyidikan dihentikan setelah tersangka membayar sanksi denda sebesar 4 kali lipat dari nilai cukai yang seharusnya dibayar. (sap)