BERITA PAJAK SEPEKAN

DJP Gencarkan Joint Program Demi Kejar Target Penerimaan Tahun Ini

Redaksi DDTCNews
Sabtu, 14 Oktober 2023 | 08.45 WIB
DJP Gencarkan Joint Program Demi Kejar Target Penerimaan Tahun Ini

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - Mendekati akhir tahun, otoritas pajak menggalakkan sejumlah cara untuk mengejar target penerimaan. Salah satunya, menjalankan joint program dengan instansi lain. Topik ini mendapat sorotan netizen dalam sepekan terakhir. 

Joint program dilakukan oleh Ditjen Pajak (DJP) bersama dengan Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) serta Ditjen Anggaran (DJA). 

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti menyebut joint program menjadi bentuk sinergi untuk mengoptimalkan penerimaan negara. Menurutnya, unit-unit eselon I Kemenkeu akan terus bekerja sama untuk mengamankan penerimaan negara.

"Joint program dengan DJBC [dan DJA] menunjukkan kami solid dan bersinergi untuk mencapai penerimaan negara," katanya. 

Sebagai informasi, joint program dilaksanakan guna mengoptimalkan penerimaan pajak, kepabeanan, cukai, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Terlebih, terdapat pelaku usaha di beberapa sektor yang dapat menggunakan layanan dari DJP, DJBC, dan DJA secara sekaligus. Contoh, sektor pertambangan, perikanan, dan kehutanan.

Program sinergi juga diharapkan meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan/atau wajib bayar, serta untuk menekan angka piutang. Selain itu, unit-unit eselon I Kemenkeu juga akan saling bekerja sama untuk meningkatkan kemudahan layanan terhadap wajib pajak dan/atau wajib bayar.

Dengan DJBC khususnya, Dwi menyebut kerja sama terus diperkuat untuk mengoptimalkan penerimaan perpajakan.

"Kami melakukan pertukaran data, bahkan saat ini ada namanya cross function yaitu banyak pegawai DJP kerja di DJBC, dan sebaliknya," ujarnya. Baca artikel lengkapnya, 'Kejar Target Penerimaan Pajak Tahun Ini, DJP Optimalkan Joint Program'.

Selain topik di atas, ada juga sejumlah pemberitaan selama sepekan terakhir yang menarik untuk diulas kembali. Di antaranya, kewajiban bermitra bagi e-commerce dengan DJBC, update upaya Indonesia bergabung menjadi anggota OECD, rilisnya PMK 96/2023, dan perkembangan terkini tentang Pilar 1 OECD. 

Berikut ini adalah ulasan pemberitaan pajak selengkapnya. 

1. Penyedia e-Commerce Kini Wajib Bermitra dengan DJBC, Ini Sebabnya

Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 96/2023 akan mewajibkan penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE), termasuk e-commerce, untuk bermitra dengan Ditjen Bea dan Cukai (DJBC).

Direktur Teknis Kepabeanan DJBC Fadjar Donny Tjahjadi mengatakan kemitraan PPMSE dan DJBC selama ini hanya bersifat opsional. Pada PMK 96/2023, kemitraan antara PPMSE dan DJBC kini menjadi wajib atau mandatory.

"Ini harapannya kita bisa dapat meningkat integritas data, akurasi penetapan, dan untuk mempercepat pelayanan," katanya dalam sosialisasi PMK 96/2023. 

2. PMK 96 Tahun 2023 Dirilis, DJBC: Untuk Cegah Praktik Under Invoicing 

Masih soal PMK 96/2023, pemerintah mengeklaim dirilisnya beleid ini sebagai upaya memberantas praktik under invoicing atas nilai pabean pada barang kiriman.

Direktur Teknis Kepabeanan DJBC Fadjar Donny Tjahjadi mengatakan DJBC menemukan indikasi praktik under invoicing di lapangan. Menurutnya, praktik tersebut merupakan modus pelanggaran ketentuan di bidang kepabeanan dengan memberitahukan harga di bawah nilai transaksi.

"Kami melihat adanya indikasi praktik under invoicing atas barang kiriman," katanya.

3. Sri Mulyani: Upaya Indonesia Jadi Anggota OECD Didukung Banyak Negara

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengeklaim negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memberikan dukungan kepada Indonesia untuk menjalani proses aksesi menjadi anggota organisasi tersebut.

Sri Mulyani menegaskan Indonesia berkomitmen melakukan proses aksesi menjadi anggota OECD. Apabila aksesi sukses, lanjutnya, Indonesia akan menjadi negara Asia ketiga yang menjadi anggota OECD, setelah Jepang dan Korea Selatan.

"Saya yakinkan komitmen kami dalam menjadi anggota OECD sangatlah bulat. Langkah-langkah reformasi Indonesia di berbagai sisi akan terus berjalan," katanya.

4. KPU Sebut Pemilu 2024 Tak Bakal Sepanas 2019, Ini Alasannya

Komisi Pemilihan Umum (KPU) meyakini situasi pada pemilu 2024 bakal lebih adem bila dibandingkan dengan pemilu 2019 lalu.

Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengatakan tak seperti 2019 lalu, pemilu 2024 tidak didahului oleh beragam pilkada yang memanaskan situasi di masyarakat.

"Pada pemilu 2019 ada satu situasi yang katakanlah mematangkan atau memanaskan. Hal ini diawali dari pilkada DKI 2017 yang kemudian diikuti pilkada 2018 dan ujungnya di pemilu 2019. Artinya isu dan berbagai macam bahan yang digunakan untuk memanaskan situasi itu berkelanjutan," ujar Hasyim.

Berbeda dengan pemilu 2019, pemilu 2024 tidak diawali dengan pilkada pada 2022 atau 2023. Kepala daerah yang habis masa jabatannya langsung digantikan oleh penjabat (Pj). Dengan demikian, tidak ada isu-isu pilkada yang berlanjut pada pemilu 2024.

5. Pilar 1 OECD Jadi Landasan Penghapusan Pajak Digital

Yurisdiksi-yurisdiksi yang menandatangani dan meratifikasi multilateral convention (MLC) Pilar 1: Unified Approach tidak diperkenankan mengenakan pajak digital (digital services tax/DST) secara unilateral.

Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), proliferasi DST perlu dihentikan dalam rangka menciptakan sistem perpajakan internasional yang lebih berkepastian.

"Amount A Pilar 1 turut memuat klausul penghapusan dan penghentian DST atau pajak yang sejenis. Komitmen ini berlaku atas semua perusahaan, tidak terbatas pada perusahaan yang termasuk dalam Amount A Pilar 1," tulis OECD dalam The Multilateral Convention to Implement Amount A of Pillar One. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.