Ilustrasi. Pengunjung berbelanja di salah satu pasar swalayan di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Senin (2/1/2023). Terlihat rak minuman berpemanis. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/wsj.
JAKARTA, DDTCNews - Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) meminta pemerintah mengkaji ulang rencana pengenaan cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
Ketua Umum GAPMMI Adhi S. Lukman mengatakan pengenaan cukai MBDK dapat memengaruhi daya beli masyarakat dan daya saing berusaha di Indonesia. Terlebih, pada situasi ekonomi saat ini yang masih mengalami kelesuan.
"[Yang] saya khawatirkan adalah daya beli dan daya saing. Dua hal ini kalau kita kenakan cukai, sementara Singapura Malaysia tidak, mereka akan lebih berfoya-foya mengalahkan daya saing kita," katanya, dikutip pada Jumat (6/10/2023).
Adhi mengungkap beberapa alasan yang membuat pemerintah perlu lebih berhati-hati dalam memungut cukai MBDK. Pertama, MBDK bukan menjadi sumber gula utama bagi masyarakat Indonesia.
Merujuk pada beberapa penelitian, dia menyebut MBDK hanya berkontribusi sebesar 1% pada asupan kalori masyarakat yang bersumber dari gula. Dengan data ini, MBDK tidak dapat dianggap sebagai faktor utamanya tingginya prevalensi penyakit tidak menular berupa diabetes dan obesitas di Indonesia.
Kedua, pengenaan cukai MBDK di beberapa negara di dunia tidak terbukti efektif menurunkan prevalensi diabetes dan obesitas. Penelitian ini dilaksanakan di negara yang telah menerapkan cukai MBDK seperti Meksiko dan Inggris.
Dia berharap pemerintah segera mengundang masyarakat, terutama pengusaha, untuk membicarakan rencana pengenaan cukai MBDK. Pasalnya, pemerintah juga belum pernah membicarakan desain kebijakan cukai MBDK ini secara detail kepada masyarakat.
Apabila desain kebijakan cukai MBDK disusun secara tidak tepat, lanjutnya, tujuan pengendalian konsumsi dan penerimaan negara bisa sama-sama tidak tercapai.
Sebagaimana diatur dalam UU Cukai s.t.d.d. UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), penambahan atau pengurangan objek cukai perlu dibahas dan disetujui DPR. Setelah disetujui, kebijakan mengenai penambahan objek cukai akan dituangkan dalam peraturan pemerintah (PP).
"Kalau pemerintah sudah memutuskan, ya mau tidak mau kami harus jalan, dengan segala konsekuensi dan risikonya. Tetapi kami wajib menyampaikan ke pemerintah kalau dikenakan kok menurut kami enggak pas," ujarnya.
Wacana pengenaan cukai MBDK telah disampaikan pemerintah kepada DPR sejak awal 2020. Pada saat itu, cukai sempat diusulkan dikenakan pada minuman teh kemasan, minuman berkarbonasi atau soda, serta minuman lainnya seperti kopi, minuman berenergi, dan konsentrat.
Tarifnya bervariasi, yakni Rp1.500 per liter pada minuman teh kemasan, Rp2.500 per liter pada minuman soda, serta Rp2.500 per liter pada minuman lainnya.
Soal angka-angka ini, Adhi pun memandang nilainya tergolong tinggi sehingga bakal mengerek harga jual produk dan menekan daya beli.
"Harga minuman dari pabrik sekitar Rp3.000 sampai Rp4.000-an per liter. Kalau kalau Rp1.500 atau Rp2.000, itu 50% harga. Itu mahal sekali," imbuhnya.
Pemerintah dan DPR mulai mematok target penerimaan cukai MBDK pada APBN 2022 senilai Rp1,5 triliun. Melalui Perpres 98/2022, target itu kemudian direvisi menjadi Rp1,19 triliun. Adapun untuk 2023, target penerimaannya ditetapkan senilai Rp3,08 triliun atau naik 158,82% dari target tahun lalu senilai Rp1,19 triliun. (sap)