Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kiri) tengah melihat alat untuk kateterisasi jantung di RSUD Komodo, Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT, Senin (8/5/2023). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/tom.
JAKARTA, DDTCNews - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan pemerintah akan terus mendorong hilirisasi industri farmasi sebagai bagian dari upaya menciptakan ketahanan kesehatan.
Budi menyebut pemerintah akan membuat regulasi yang 'memaksa' sektor industri untuk memproduksi produk farmasi dari hulu hingga hilir. Di sisi lain, pemerintah juga bakal menyediakan insentif yang menguntungkan bagi pelaku usaha di sektor tersebut.
"Pemerintah akan memberikan regulasi yang memaksa [dan] akan memberikan insentif yang menyenangkan supaya teman-teman membangun [industri farmasi] dari hulu ke hilir," katanya, Selasa (16/5/2023).
Dalam acara Forum Nasional Hilirisasi dan Peningkatan Penggunaan Sediaan Farmasi Dalam Negeri, Budi menuturkan pandemi Covid-19 telah memberikan pelajaran mengenai pentingnya membentuk ekosistem industri farmasi untuk menjamin ketersediaan obat-obatan bagi masyarakat.
Menurutnya, ekosistem industri farmasi yang memadai dari hulu hingga ke hilir akan menciptakan kemandirian kesehatan di Indonesia.
Dia menjelaskan pemerintah akan menyediakan berbagai kemudahan agar industri farmasi Indonesia dapat setara dengan negara lain seperti China dan India. Beberapa hal yang disiapkan di antaranya kemudahan perizinan, transparansi data, serta pemberian insentif yang menarik.
Kepada pelaku usaha, Budi meyakinkan tren belanja kesehatan Indonesia terus mengalami kenaikan. Saat ini, belanja kesehatan per kapita Indonesia mencapai US$130 per tahun, sedangkan Malaysia mencapai US$430 per tahun.
Apabila belanja kesehatan per kapita Indonesia sama dengan Malaysia, lanjutnya, porsi untuk belanja farmasi dan alat kesehatan setidaknya akan mencapai US$40 miliar atau sekitar Rp600 triliun.
"Pangsanya besar. Jadi buat teman-teman [pelaku usaha], it's very huge market. Why don't you invest? Kalau kita hanya impor-impor, dagang-dagang saja, buat Indonesia ekonominya sedikit," ujarnya.
Budi menuturkan pemerintah selama ini telah menyediakan berbagai insentif seperti supertax deduction bagi perusahaan yang melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) guna mendukung perkembangan industri farmasi dan alat kesehatan.
Mengacu pada Pasal 2 ayat (1) PMK 153/2020, wajib pajak yang melakukan kegiatan litbang tertentu, termasuk farmasi dan alat kesehatan, dapat memanfaatkan pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 300% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan litbang tertentu di Indonesia.
Insentif ini dimaksudkan untuk mendorong kegiatan pada bidang litbang sehingga pada gilirannya mampu meningkatkan produktivitas dan keberlangsungan usaha.
Di sisi lain, Kemenkes dan DPR tengah membahas RUU Kesehatan yang mendorong kemandirian ketersediaan farmasi dan alat kesehatan. Solusi yang ditawarkan RUU antara lain mendorong penggunaan bahan baku dan produk dalam negeri serta pemberian insentif.
Menurut data Kemenkes, sekitar 90% bahan baku obat untuk produksi farmasi lokal masih diimpor, serta 88% transaksi alat kesehatan pada 2019-2020 di e-katalog merupakan produk impor.
Di Indonesia, hanya 0,2% total PDB yang digunakan untuk penelitian dan pengembangan. Angka ini terbilang rendah ketimbang AS yang mencapai 2,8% dan Singapura 1,9%. (rig)