Ilustrasi. (foto: Setkab)
JAKARTA, DDTCNews – Jumlah berkas sengketa yang masuk ke Pengadilan Pajak pada tahun lalu mengalami peningkatan. Hal ini menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Senin (11/2/2019).
Berdasarkan data Pengadilan Pajak, total sengketa pajak baik dengan Ditjen Pajak (DJP), Ditjen Bea dan Cukai (DJBC), maupun Pemda (pajak daerah) pada 2018 tercatat sebanyak 11.436 kasus. Dari jumlah tersebut, sengketa yang menyangkut DJP tercatat paling banyak yakni 7.813 kasus. Sisanya, DJBC sebanyak 3.574 dan pemda 49 sengketa.
Adapun sengketa yang menyangkut DJP itu tercatat naik 40,6% dibandingkan posisi pada 2017 sebanyak 5.553 kasus. Jumlah tersebut sekaligus mencatatkan posisi tertinggi sejak 2013. Padahal, untuk sengketa yang melibatkan DJBC justru mengalami penurunan.
Kenaikan sengketa ini tidak dibarengi dengan peningkatan kecepatan penyelesaian oleh Pengadilan Pajak. Tahun lalu, Pengadilan Pajak hanya dapat menyelesaikan sekitar 9.963 kasus. Ini menurun dibandingkan posisi 2016 dan 2017 yang masing-masing tercatat sebanyak 12.853 dan 11.231 sengketa.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan jumlah sengketa pada 2018 memang cukup tinggi, tapi jumlah itu tidak jauh berbeda dengan pengajuan pada 2017. Menurutnya, ada efek tax amnesty sehingga wajib pajak (WP) mencabut keberatan dan banding.
Selain itu, beberapa media juga masih menyoroti topik pemajakan transaksi e-commerce. Sesuai rencana, Peraturan Menteri Keuangan No.210/PMK.010/2018 akan mulai diterapkan pada 1 April 2019. Namun, hingga saat ini, regulasi turunan berupa peraturan ditjen pajak (Perdirjen) belum rampung.
Beberapa media nasional juga memberikan bahasan mengenai target kepatuhan formal WP pada tahun ini. DJP menargetkan jumlah WP yang melaporkan surat pemberitahuan (SPT) pada tahun ini akan berada di level 80%.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Hestu Yoga Saksama mengatakan adanya tax amnesty yang mengharuskan WP mencabut berkas sengketa sebagai syarat keikutsertaan telah membuat jumlah pengajuan keberatan dan banding terlihat menurun. Hal ini, menurut dia, membuat jumlah sengketa pada 2018 terlihat naik signifikan.
“Sebenarnya itu bukan berarti kenaikan yang signifikan pada 2018 bila dibandingkan 2017. Kalau WP itu tax amnesty, WP membayar pokok pajak di SKP-nya dan dihapus sanksinya. Jadi, sengketanya selesai dengan sendirinya atau tidak ditunda,” jelas Yoga.
Partner Fiscal Research DDTC B. Bawono Kristiaji berpendapat adanya berbagai perubahan regulasi dan implementasi aturan anti penghindaran pajak, peningkatan kebutuhan penerimaan pajak, serta perbaikan pajak daerah menjadi beberapa faktor yang membuat kecenderungan kenaikan sengketa muncul.
“Jadi ada proyeksi bahwa sengketa pajak bukan semakin turun, tapi justru semakin meningkat. Ini juga tercermin dari berkas sengketa tahun lalu,” katanya.
Kondisi yang terjadi pada sengketa pajak ini berpengaruh pada kepastian pajak di Tanah Air. OECD dan IMF pada 2017, sambung Bawono, telah menegaskan bahwa salah satu elemen untuk menjamin kepastian adalah pencegahan dan penyelesaian sengketa pajak.
OIeh karena itu, pemerintah perlu fokus membenahi aspek itu dengan mendesain ketentuan pajak yang tidak multiinterpretasi, ketersediaan alternative dispute resolution, hingga implementasi paradigma cooperative compliance yang berorientasi pada pencegahan sengketa pajak sejak dini.
Hestu Yoga Saksama mengatakan Perdirjen yang menjadi turunan regulasi terkait pemajakan e-commerce masih digodok. DJP, sambungnya, masih berdiskusi dengan pengelola platform marketplace terkait aturan tersebut. Dia hanya menegaskan tidak ada kewajiban NPWP bagi pelapak yang ingin masuk ke platform marketplace.
“Mudah-mudahan sebelum April 2019 Perdirjennya selesai,” kata Yoga.
Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan DJP Yon Arsal optimistis akan adanya kenaikan kepatuhan formal WP pada tahun ini. Hal ini, sambungnya, didukung oleh lonjakan jumlah WP baru. DJP akan terus mendorong penyampaian SPT melalui e-filing dan pelaksanaan lebih awal.
Dengan pertumbuhan ekonomi 2018 sebesar 5,17%, kontribusi regional Jawa masih mendominasi hingga 58,48%. Dengan demikian, pemerataan ekonomi masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Pembangunan infrastruktur dan fasilitas pendukung investasi lainnya di luar Jawa menjadi aspek yang harus terus dijalankan. (kaw)