BERITA PAJAK HARI INI

Beleid Pemajakan E-Commerce Beri Perlakuan Adil

Kurniawan Agung Wicaksono
Senin, 14 Januari 2019 | 08.21 WIB
Beleid Pemajakan E-Commerce Beri Perlakuan Adil

Ilustrasi. (foto: bannerview)

JAKARTA, DDTCNews – Terbitnya beleid yang mengatur tentang perlakukan perpajakan transaksi e-commerce masih menjadi bahasan mayoritas media nasional pada hari ini, Senin (14/1/2018). Regulasi ini dinilai memberikan equal treatment antara perdagangan konvensional dengan e-commerce.

Beleid berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.210/PMK.010/2018 ini berlaku mulai 1 April 2019. Ditjen Pajak (DJP) menegaskan tidak ada jenis atau tarif baru bagi pelaku e-commerce. PMK diterbitkan untuk memberikan kepastian terkait tata cara dan prosedur pemajakan.

“Yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan administrasi dan mendorong kepatuhan perpajakan para pelaku e-commerce demi menciptakan perlakuan yang setara dengan pelaku usaha konvensional,” ujar Hestu Yoga Saksama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP.

PMK ini menegaskan kewajiban pelaku e-commerce dari sisi pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), maupun kepabeanan. Secara spesifik, beleid ini mengatur perlakuan perpajakan e-commerce melalui platform marketplace.

Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan pengaturan ini menegaskan bahwa bisnis yang dijalankan dalam e-commerce juga dikenai pajak, sesuai dengan ketentuan perpajakan pada umumnya. PMK tersebut, sambungnya, memberikan keadilan kepada semua pelaku dagang.

Selain terkait perlakukan perpajakan e-commerce, beberapa media nasional juga menyoroti standarisasi pengumpulan data penyusun nilai objek dan penagihan pajak bagi pemerintah daerah. Hal ini tertuang dalam PMK No.207/PMK.07/2018 dan PMK No.208/PMK.07/2018.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

  • Ini Pokok-Pokok Isi PMK 210/2018

Melalui keterangan resmi, DJP memberikan rincian pokok-pokok pengaturan perlakukan perpajakan bagi e-commerce dalam PMK 210/2018. Pertama, bagi pedagang dan penyedia jasa yang berjualan melalui platform marketplace

  1. Memberitahukan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kepada pihak penyedia platform marketplace
  2. Apabila belum memiliki NPWP, dapat memilih untuk mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, atau memberitahukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) kepada penyedia platform marketplace
  3. Melaksanakan kewajiban terkait PPh sesuai dengan ketentuan yang berlaku, seperti membayar pajak final dengan tarif 0,5% dari omzet dalam hal omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam setahun
  4. Dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam hal omzet melebihi Rp4,8 miliar dalam setahun, dan melaksanakan kewajiban terkait PPN sesuai ketentuan yang berlaku.

 

Kedua, kewajiban penyedia platform marketplace

  1. Memiliki NPWP, dan dikukuhkan sebagai PKP
  2. Memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPh terkait penyediaan layanan platform marketplace kepada pedagang dan penyedia jasa
  3. Memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPh terkait penjualan barang dagangan milik penyedia platform marketplace sendiri
  4. Melaporkan rekapitulasi transaksi yang dilakukan oleh pedagang pengguna platform.

Adapun yang dimaksud dengan penyedia platform marketplace adalah pihak yang menyediakan sarana yang berfungsi sebagai pasar elektronik, yang di dalamnya, pedagang dan penyedia jasa pengguna platform dapat menawarkan barang dan jasa kepada calon pembeli.

Penyedia platform marketplace yang dikenal di Indonesia antara lain Blibli, Bukalapak, Elevenia, Lazada, Shopee, dan Tokopedia. Selain perusahaan-perusahaan tersebut, pelaku over-the-top di bidang transportasi juga tergolong sebagai pihak penyedia platform marketplace.

Ketiga, bagi e-commerce di luar platform marketplace, pelaku usaha yang melaksanakan kegiatan perdagangan barang dan jasa melalui online retail, classified ads, daily deals, dan media sosial wajib mematuhi ketentuan terkait PPN, PPnBM, dan PPh sesuai ketentuan yang berlaku.

  • Pahami Karakteristik dan Model Bisnis Ekonomi Digital

Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan tantangan pemajakan atas ekonomi digital memang besar, tapi tidak semuanya membutuhkan treatment khusus. Dia berpendapat pemerintah perlu memahami karakteristik dan model bisnis dari tiap jenis ekonomi digital.

Setelah itu, pemerintah perlu melihat sejauh mana ketentuan yang berlaku dan memastikan perilaku kepatuhan di tiap model bisnis. Terkait dengan hal ini, pemerintah perlu memetakan gap baik dari sisi penghindaran maupun pengelakan pajak.

“Selanjutnya, perlu memetakan dan memilih opsi ketentuan yang akan dipilih, apakah melalui kebijakan khusus atau hanya terobosan administrasi atau justru keduanya,” katanya.

  • Beban Tambahan Perusahaan Online

Pelaku E-Commerce mengeluhkan belum adanya detail tata cara pelaporan. Selain itu, mereka berpendapat pekerjaan akan bertambah untuk memungut dan menyetor pajak, serta melaporkan transaksi para pedagang di marketplace.  "Ada effort lebih," ujar Ketua Asosiasi E-Commerce Indonesia Ignatius Untung.

  • Standar Baru untuk Optimalisasi PAD

Dalam PMK 207/2018, pemerintah mengatur tata cara penagihan pajak dan pemeriksaan pajak daerah. Selanjutnya, PMK 2018/2018 mengatur prosedur penilaian bumi dan/atau bangunan guna menghitung nilai jual objek pajak (NJOP).  Otoritas berharap beleid ini mampu membantu pemerintah daerah dalam menetapkan NJOP agar lebih relevan dan sesuai harga pasar.

“Peraturan baru ini merespons perlunya pedoman bagi pemda dalam mengoptimalkan penerimaan, khususnya dalam upaya penagihan pajak daerah,” ujar Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.