SOLO, DDTCNews – Kebijakan pajak terkait ekonomi digital harus diracik dengan tepat agar tidak mendistorsi perekonomian secara menyeluruh. Ekonomi digital tidak terpisah dari perekonomian nyata, baik dalam tingkat nasional maupun global.
B. Bawono Kristiaji, Partner Research and Training Services DDTC mengatakan ekonomi digital sejatinya merupakan bagian dari aktivitas ekonomi nyata yang hingga derajat tertentu telah melalui proses digitalisasi. Dengan demikian, aturan khusus bukanlah sebuah keharusan.
“Adanya pengaturan khusus justru ditakutkan mendistorsi keputusan ekonomi dan memunculkan diskriminasi,” ujarnya dalam ‘Annual Conference of Taxation 2018’ Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret (FEB UNS), Sabtu (20/10/2018).
Kesulitan dari pemajakan ekonomi digital, sambungnya, terletak pada pengawasan dan penegakan kepatuhan. Menurut Bawono, tidak mengherankan jika OECD pada 2017 memasukkan ekonomi digital sebagai ‘new shadow economy’.
Bagaimanapun, transaksi ekonomi digital, terutama untuk e-commerce, akan mengalami kenaikan signifikan. Berdasarkan data Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), potensi transaksi e-commerce di tanah air mencapai Rp1.700 triliun pada 2020.
Selain itu, nilai transaksi uang elektronik pun meningkat dari Rp1,9 triliun dengan 100.624 transaksi pada 2012 menjadi Rp12,3 triliun pada tahun lalu. Dengan demikian, ada tren peningkatan transaksi dalam ekonomi digital.
Menurut Bawono, respons dari sisi pemajakan transaksi digital seharusnya mencakup kebijakan untuk transaksi domestik maupun lintas yurisdiksi. Pengelompokan transaksi berdasarkan wilayah ini penting untuk memberikan pendekatan yang sesuai.
Untuk transaksi domestik, lanjut dia, tantangan kepatuhan tidak membutuhkan respons kebijakan khusus yang justru berisiko mencederai level playing field. Aturan dalam konteks transaksi domestik seharusnya berupa terobosan administrasi.
“Seperti bekerja sama dengan penyedia online marketplace, sistem withholding tax, mekanisme wajib pungut PPN [pajak pertambahan nilai], optimalisasi GPN [gerbang pembayaran nasional], hingga pemetaan kepatuhan melaluibig data analysis,” jelasnya.
Sementara, dalam transaksi lintas yurisdiksi, Bawono menilai pengaturan pajak khusus bisa dijustifikasi. Ini dikarenakan ekonomi digital lintas yurisdiksi membuka celah penghindaran pajak, seperti pengelakan status bentuk usaha tetap [BUT] dan perpindahan aktiva tidak berwujud ke yurisdiksi dengan tarif pajak rendah.
Perbedaan perlakuan maupun pengenaan pajak baru bisa dilakukan dalam konteks transaksi lintas yurisdiksi, terutama jika kesepakatan internasional mengenai modifikasi batasan BUT hingga alokasi laba sulit dicapai.
Dalam ranah pajak penghasilan (PPh), Bawono memaparkan hingga saat ini belum ada konsensus global untuk mencegah beberapa praktik penghindaran pajak. Jika sesuai rencana, kesepakatan global baru ada pada 2020.
Kondisi ini pun direspons oleh banyak negara dengan menerbitkan aturan unilateral agar tidak kehilangan potensi penerimaan dari aktivitas ekonomi yang semakin berkembang tersebut. Beberapa diantaranya yakni Inggris dengan google tax dan India dengan equalization levy.
“Menurut saya, kebijakan unilateral perlu dipertimbangkan dalam jangka pendek. Artinya, sembari menunggu konsensus global, pemerintah juga tetap proaktif dalam mencegah tergerusnya basis pajak,” jelas Kepala DDTC Fiscal Research ini.
Selanjutnya, dalam ranah PPN, Indonesia dapat merujuk kepada prinsip-prinsip yang telah tertuang dalam OECD VAT/GST Guidelines 2017. Selain itu, Indonesia juga dapat mempertimbangkan regulasi VAT di Uni Eropa sepertireverse charge atau ketentuan registrasi PKP bagi nonresiden. (kaw)