JAKARTA, DDTCNews – Penegasan ketentuan mengenai penyampaian beneficial ownership (BO) dalam aturan teknis akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan bakal memudahkan Ditjen Pajak menjangkau rekening para penerima manfaat dari suatu korporasi. Berita tersebut mewarnai beberapa media nasional pagi ini, Rabu (28/2).
Ketentuan ini juga memberi jalan bagi otoritas pajak untuk mewujudkan pajak sebagai instrumen untuk mendistribusikan pendapatan. Direktur Peraturan Perpajakan Internasional Ditjen Pajak John Hutagaol mengatakan dalam PMK No.19/PMK.03/2018, ada lima jenis informasi utama yang disampaikan oleh lembaga keuangan kepada Ditjen Pajak, salah satunya identitas pemegang rekening.
Definisi pemegang rekening ini mengalami perluasan, misalnya khusus pemegang rekening yang merupakan wajib pajak badan, selain informasi mengenai wajib pajak badan itu sendiri, juga wajib menyampaikan nama controlling person (orang yang menjadi pengendali atas badan tersebut).
Menurutnya, ini sesuai dengan konsep BO yang diatur dalam Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF). Selain mendorong keterbukaan informasi keuangan, beleid ini dinilai akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak secara sukarela (voluntary compliance). Dengan begitu, jumlah basis pajak akan meningkat dan implikasinya kinerja pemungutan pajak pemerintah juga semakin membaik.
Kabar lainnya masih mengenai beleid akses informasi dan ketimpangan struktur penerimaan pajak. Berikut ringkasan selengkapnya:
Pengamat Pajak DDTC Bawono Kristiaji memandang perluasan cakupan dalam aturan teknis mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan perlu dilihat dari tiga dimensi, yakni distribusi penghasilan, distribusi kekayaan, dan akumulasi kekayaan antargenerasi. Kebijakan fiskal, terutama pajak, merupakan instrumen yang bisa dipergunakan dalam mengatasi ketimpangan. Menurutnya, saat ini persoalan ketimpangan banyak dikaitkan dengan perilaku wajib pajak kaya (high net worth individuals/HNWI).
Beberapa kebijakan PPh OP yang umumnya ditujukan untuk mengurangi ketimpangan seperti tarif progresif hingga skema capital gain tax juga belum mampu sepenuhnya menjamin kesetaraan ekonomi. Hal ini ditengarai akibata adanya kemampuan orang kaya untuk menyembunyikan harta dan penghasilan di luar negeri ataupun dengan mengaburkan identitas di balik suatu legal arrangement. Beleid akses informasi ini dapat membantu pemerintah dalam memetakan kepatuhan HNWI tersebut. Dengan kata lain, PMK 19/2018 menjadi bagian upaya untuk menjamin distribusi pajak yang adil dan elemen untuk mengurangi ketimpangan.
Menilik realisasi setoran pajak 2017, struktur penerimaan PPh masihh timpang karena didominasi oleh PPh OP karyawan yang mencapai Rp117,7 triliun atau tumbuh 7,4%, sedangan PPh OP non-karyawan hanya berkontribusi Rp7,83 triliun meskipun tumbuh 47,32%. Hal ini menunjukkan struktur penerimaan PPh masih timpang. Padahal idealnya dengan berbagai effort pemerintah belakangan ini, kontribusi PPh OP non-karyawan bisa melesat jauh dari angka realisasi tersebut. Selain itu, kinerja pajak pemerintah juga melemah dengan tergerusnya angka rasio pajak ke 8,4%. Padahal menurut IMF, standar minimal untuk melakukan pembangunan secara berkelanjutan dibutuhkan tax ratio paling tidak 12,75%. Artinya, merujuk standar IMF ini, posisi rasio pajak Indonesia masih rendah. Untuk itu, beleid akses informasi keuangan ini diharapkan dapat memudahkan otoritas pajak untuk melacak dan mendeskripsikan profil penghasilan wajib pajak, terutama dengan masuknya klausul BO dalam batang tubuh PMK 19/2018.
Ditjen Pajak memperpanjang masa pendaftaran lembaga jasa keuangan dari batas akhir 28 Februari menjadi 31 Maret. Pendaftaran ini merupakan tahap awal sebelum lembaga jasa keuangan melaporkan data nasabah pada waktunya. Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Dirtjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan perpanjangan ini dilakukan untuk memberikan waktu yang cukup bagi lembaga jasa keuangan untuk mendaftarkan diri ke Ditjen Pajak. Pengamat Pajak DDTC Darussalam berpendapat, dengan semakin dekatnya implementasi pertukaran informasi keuanagan secara otomatis (AEoI) bagi Indonesia pada September 2018, Indonesia juga turut mengikuti ketentuan dalam Common Reporting Standard (CRS), salah satunya mengenai perlunya kewajiban registrasi untuk menjadi lembaga keuangan pelapor. Kelonggaran waktu ini perlu agar lembaga keuangan dapat mempersiapkan sistem internal mereka sebelum pelaksanaan AEoI. (Amu)