JAKARTA, DDTCNews – Otoritas pajak dituntut untuk melakukan penegakan hukum kepada para pengemplang pajak, khususnya kepada nama-nama wajib pajak Indonesia yang tercantum dalam Paradise Papers.
Ekonom INDEF Bhima Yudistira mengatakan otoritas pajak bisa menerbitkan Bukti Permulaan (Bukper) kepada nama-nama tersebut jika memang memiliki sudah ada bukti yang kuat.
"Caranya amat sederhana untuk menyita aset koruptor dan pengemplang pajak, pemerintah bisa terbitkan Bukper. Masalahnya, apakah petugas pajak berani menindak? Nyali petugas pajak sedang dipertaruhkan," ujarnya kepada DDTCNews, Jumat (10/11).
Dalam kasus Panama Papers, para jurnalis internasional membocorkan dokumen penting yang detail soal nama pemilik, alamat perusahaan dan tahun terjadinya pelarian uang ke surga pajak. Dengan adanya dokumen gratisan yang bisa diakses oleh publik, seharusnya petugas pajak merasa lega karena bisa menelusuri nama wajib pajak yang diduga mengemplang pajak.
"Data pemilik Paradise Papers berbentuk dokumen yang hampir sama dengan Panama Papers. Konteks keluarnya dokumen itu pun mirip. Secara bersamaan, pemerintah sedang kekurangan penerimaan pajak," tuturnya.
Bhima mengakui sebenarnya sudah sejak lama pemerintah berambisi untuk menarik harta koruptor di luar negeri. Saat kejatuhan Soeharto tahun 1998, beberapa LSM gencar menyuarakan untuk mengaudit dan menyita aset Presiden Indonesia yang berkuasa lebih dari 32 tahun itu. Dugaan triliunan aset yang ditimbun di brangkas salah satu bank di Swiss sontak menimbulkan spekulasi.
Bhima menyayangkan sampai dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pemerintah masih kesulitan untuk mengusut tuntas harta para koruptor di luar negeri. "Tapi di era keterbukaan informasi, seharusnya tidak ada lagi harta yang bisa disembunyikan khususnya di surga pajak," paparnya.
Menurutnya, KPK dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga mesti turun tangan membantu Dirjen Pajak dalam rangka kerja sama tuntaskan masalah korupsi sekaligus pengemplang pajak sejak zaman Orba. "Sekaligus denda pajak harus dikalkulasi ulang, sehingga pilihan bagi wajib pajak yang bermasalah tinggal 2 yaitu sanksi pidana atau membayar denda 150% dari pajak terutang," ucapnya.
Bhima mengakui masyarakat sebenarnya sudah lama kecewa soal penegakan aturan pajak yang timpang. Kasus transfer WNI Rp18,9 triliun dari Inggris ke Singapura yang misterius tidak berhasil dipecahkan. "Dari cerita itu bisa disimpulkan bahwa mimpi untuk membawa triliunan harta para pejabat dan pengemplang pajak tinggal mimpi selama petugas pajak tak bernyali," pungkasnya. (Amu)
Â