JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak menerbitkan surat imbauan nomor S-369/PJ.03/2017 yang ditujukan kepada seluruh Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Ditjen Pajak di Indonesia terkait dengan pengenaan pajak penghasilan (PPh) bagi penulis.
Direktur Peraturan Perpajakn II Yunirwansyah mengatakan surat imbauan ini disebarkan dengan tujuan agar tidak terjadi perbedaan penerapan dalam penghitungan pajak profesi penulis dan profesi lainnya di Kanwil Ditjen Pajak, menyusul adanya keluhan dari novelis ternama Tere Liye.
Dalam penjelasannya, ada salah tafsir dari penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) bahwa penulis yang memperoleh royalti tidak boleh membebankan biaya. Padahal, para penulis menilai ada beban biaya seperti riset, biaya perjalanan, peralatan kerja, dan perlu biaya promosi dan biaya lainnya.
Menurut Ditjen Pajak, penggunaan NPPN diatur dalam pasal 28 UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagaimana diubah dengan UU Nomor 19 tahun 2009 tentang KUP.
Beleid itu juga dijabarkan dalam Pasal 4 (1), memori penjelasan Pasal 4 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), memori penjelasan pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), Pasal 11A ayat (1). Pasal 14 ayat (2), Pasal 20 dan Pasal 23 UU Nomor 7 tahun 1983 tentang PPh sebagaimana diubah terakhir dalam UU Nomor 36 tahun 2008 (UU PPh).
Aturan itu juga dijelaskan dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor 4 Tahun 2009 tentang petunjuk pencatatan bagi wajib pajak pribadi dan Peraturan Dirjen Pajak nomor 17 Tahun 2015 tentang NPPN.
Sesuai ketentuan tersebut, berdasarkan sumber tambahan kemampuan ekonomis kepada wajib pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi: penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan lainnya.
Selain itu diatur juga penghasilan usaha dan kegiatan, penghasilan dari modal berupa harta bergerak ataupun harta tak bergerak seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan penghasilan lain-lain seperti pembebasan utang dan hadiah.
Seluruh pengenaan PPh wajib pajak didasarkan pada pengelompokan tersebut. Lalu bagaimana penghasilan neto wajib pajak yang berprofesi sebagai penulis?
Dalam hal wajib pajak menyelenggarakan pembukuan, penghasilan neto ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk: biaya atau pengeluaran yang mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dan biaya atau pengeluaran dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b sampai huruf m UU PPh.
Dalam hal biaya atau pengeluaran digunakan untuk memperoleh hak cipta di bidang kesusastraan denngan metode dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun selama masa manfaat atau dalam bagian-bagian yang menurun setiap tahun dengan cara menerapkan tarif amortisasiatas nilai sisa buku sebagaimana dimaksud pasal 11A ayat (1) UU PPh.
Namun, jika wajib pajak memiliki penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas sebagai penulis dalam satu tahun kurang dari Rp4,8 miliar, penghasilan neto dapat dihitung dengan menggunakan NPPN.
Namun ada syaratnya, yakni:Â Pertama, wajib pajak melakukan pencatatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor 4 Tahun 2009. Kedua, wajib pajak memberitahukan mengenai penggunaan NPPN kepada Dirjen Pajak paling lama 3 bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan. Ketiga, besarnya NPPN bagi penulis adalah sebesar 50% dari penghasilan bruto, baik honorarium maupun royalti yang diterima penerbit.
Adapun penghasilan bruto dari pekerjaan bebas sebagai penulis meliputi penghasilan yang terkait dengan profesi penulis, termasuk penghasilan royalti yang diterima dari penerbit dan hak cipta berdasarkan kesusastraan yang dimiliki penulis.
Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak dilunasi oleh wajib pajak melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain atau pembayaran oleh wajib pajak sendiri.
Adapun, atas penghasilan dari hak cipta di bidang kesusastraan berupa royalti dipotong PPh pasal 23 sebagai pelunasan PPh dalam tahun pajak berjalan yang dapat dikreditkan terhadap PPh yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.