Dian Anggraeni,
TUJUH tahun lalu, Tere Liye membagikan kegelisahannya tentang jumlah pajak yang harus dipikul penulis. Pengenaan pajak royalti penulis dirasa terlalu memberatkan.
Curhatan Tere Liye itu kemudian banyak dimuat di media massa. Dia membandingkan beban pajak yang harus ditanggung penulis atas royalti yang diterima. Jumlahnya berkali lipat jika dibandingkan beban pajak yang ditanggung profesi lain seperti dokter, akuntan, atau pengacara.
Apa yang disampaikan Tere Liye tidak salah. Dokter, akuntan, pengacara, dan profesi pekerjaan bebas lainnya yang beromzet tidak lebih dari Rp4,8 miliar setahun dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) dalam menghitung pajak penghasilan (PPh).
Ketentuan tersebut sudah masuk dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015. Dengan demikian, dasar penghitungan PPh pada akhir tahun menjadi lebih kecil dari jumlah brutonya.
Profesi penulis sebenarnya juga merupakan subjek dari PER-17/PJ/2015. Artinya, penulis dapat menggunakan NPPN dalam menghitung pajaknya. Namun, perbedaan pendapat muncul ketika objek yang dikenakan PPh adalah royalti.
Berdasarkan pada Penjelasan Pasal 4 UU PPh, dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada wajib pajak, penghasilan dapat dibagi menjadi beberapa kelompok. Pertama, penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja seperti gaji, upah. Kemudian, penghasilan dari pekerjaan bebas seperti penghasilan dari praktek dokter, notaris, akuntan, dan sebagainya.
Kedua, penghasilan dari usaha dan kegiatan. Ketiga, penghasilan dari modal, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha. Keempat, penghasilan lain-lain.
Jika dilihat dari kelompok aliran penghasilan tersebut maka penghasilan berupa royalti merupakan penghasilan dari modal. Dengan demikian, penghitungan pajaknya tidak digabungkan dengan penghasilan dari pekerjaan bebas yang merupakan objek NPPN.
Menjawab kegundahan para penulis, dirjen pajak menerbitkan Surat Dirjen Pajak Nomor: S-639/PJ.03/2017. Surat ini memuat penegasan bahwa penghasilan penulis yang dapat diterapkan NPPN sebesar 50% adalah seluruh penghasilan penulis baik, honorarium maupun royalti, yang diterima dari penerbit. Namun, penegasan yang diberikan sebatas surat dirjen. Dalam hierarki peraturan perundang-undangan, surat dirjen tidak memiliki kekuatan hukum.
Permasalahan lain yang banyak diungkap oleh para penulis adalah tingginya tarif pemotongan PPh Pasal 23 atas royalti. Sesuai dengan prinsip withholding system, pihak yang membayarkan royalti harus melakukan pemotongan PPh Pasal 23.
Tarif pemotongan PPh Pasal 23 atas royalti berdasarkan pada UU PPh adalah sebesar 15% dari jumlah bruto. PPh Pasal 23 yang telah dipotong oleh pihak pembayar royalti merupakan cicilan pembayaran pajak yang dapat diperhitungkan pada penghitungan pajak pada akhir tahun.
Tarif pemotongan sebesar ini akan mengakibatkan penghitungan PPh pada akhir tahun berpotensi menjadi lebih bayar, terutama bagi penulis dengan omzet tidak terlalu besar. Proses pengembalian kelebihan pembayaran pajak membutuhkan suatu upaya tersendiri bagi wajib pajak. Hal ini berpotensi menambah biaya kepatuhan. Dalam perspektif bisnis, biaya operasi perpajakan merupakan biaya kepatuhan (Sandford, 1989).
MEDIO Maret 2023, dirjen pajak menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-1/PJ/2023. Beleid ini menjadi obat bagi beberapa permasalahan penulis di atas.
Melalui PER-1/PJ/2023, otoritas menegaskan bahwa royalti yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi yang menerapkan NPPN dalam menghitung PPh, akan diperhitungkan sebagai penghasilan dari pekerjaan bebas. Klausul ini memberikan kepastian hukum atas pengaturan surat dirjen pajak pada 2017.
Tarif efektif pemotongan PPh Pasal 23 juga dipangkas melalui PER-1/PJ/2023. Formulasi pemotongan PPh Pasal 23 adalah tarif 15% dikalikan dengan jumlah bruto. PER-1/PJ/2023 mendefinisikan jumlah bruto adalah 40% dari penghasilan royalti yang dibayarkan.
Formula tersebut menghasilkan tarif efektif sebesar 6%. Dengan penurunan tarif efektif pemotongan PPh Pasal 23 dari 15% menjadi 6% maka selain mengurangi potensi lebih bayar pada akhir tahun, kebijakan ini juga membantu cash flow penulis.
Sasaran PER-1/PJ/2023 jelas, yaitu wajib pajak yang menerapkan NPPN dalam menghitung PPh. Dengan demikian, untuk dapat dipotong PPh Pasal 23 sebesar 6%, penulis harus menyampaikan Bukti Penerimaan Surat (BPS) pemberitahuan penggunaan NPPN ke Direktorat Jenderal Pajak.
UNDANG-undang mengatur pembatasan penerapan NPPN. Pertama, wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar setahun. Kedua, wajib pajak menyampaikan pemberitahuan penggunaan NPPN kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
Dengan demikian, perlu digarisbawahi bahwa implementasi PER-1/PJ/2023, yang berlaku sejak 16 Maret 2023, menghendaki pemenuhan persyaratan pemberitahuan penggunaan NPPN oleh penulis. Sayangnya, meskipun ketentuan pemberitahuan penggunaan NPPN sudah diatur sejak UU PPh 1983, masih banyak wajib pajak yang belum mengetahui kewajiban pemberitahuan ini.
Jatuh tempo pemberitahuan penggunaan NPPN 2023 adalah 31 Maret 2023. Untungnya, kini mendapatkan BPS tidak lagi sulit. BPS pemberitahuan NPPN dapat diunduh setelah penulis menyampaikan pemberitahuan secara daring melalui DJP Online. Penulis juga dapat memberitahukan melalui telepon Kring Pajak 1500200 atau live chat.
Jadi, agar PER-1/PJ/2023 tidak menjadi obat kosong, masih ada waktu bagi penulis untuk bergegas mengakses DJP Online atau menghubungi Kring Pajak 1500200. Tujuannya jelas, untuk mendapatkan ‘tiket’ penggunaan PER-1/PJ/2023.
* Artikel opini ini merupakan pendapat pribadi dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.