Tampilan depan laporan “The Taxation of Offshore Indirect Transfers— A Toolkit”.
WASHINGTON, DDTCNews – Platform for Collaboration on Tax (PCT) merilis instrumen terkait penentuan alokasi hak pemajakan atas transfer aset tidak langsung yang dilakukan oleh pihak luar negeri (offshore indirect transfers/OIT). Instrumen yang terbit pada awal Juni 2020 ini rencananya akan disusun dalam bentuk toolkit.
Secara garis besar, instrumen ini berisi berbagai panduan ketika suatu negara berupaya untuk memajaki keuntungan atas pengalihan kepemilikan aset suatu perusahaan yang terletak di negara itu tetapi entitas bisnis tersebut merupakan wajib pajak dari negara lain.
“Perlakuan pajak OIT telah muncul sebagai masalah signifikan di banyak negara berkembang,” demikian pernyataan PCT dalam laporan “The Taxation of Offshore Indirect Transfers— A Toolkit”, dikutip pada Senin (8/6/2020).
Pembahasan mengenai instrumen ini dijabarkan dalam konteks negara-negara sedang berkembang dan tidak hanya negara-negara yang kaya sumber daya alam. Salah satu poin terpenting yang menjadi sumber permasalahannya ialah perspektif negara yang menjadi lokasi beradanya aset yang menjadi dasar transaksi (underlying asset).
Pasalnya, selama ini, pemajakan atas penghasilan aset yang pengalihannya dilakukan secara tidak langsung telah menjadi topik perbincangan publik yang berlarut-larut. Contohnya ialah penjualan hak mineral pada sektor migas serta pengalihan hak lisensi pada sektor komunikasi yang membutuhkan adanya sewa lokasi di negara tertentu.
PCT menyatakan topik tersebut menjadi perhatian di banyak negara berkembang. Urgensinya semakin meningkat karena adanya tantangan pengumpulan penerimaan yang dihadapi pemerintah di seluruh dunia sebagai konsekuensi dari krisis Covid-19.
Secara konseptual, Pasal 13 ayat (4) dalam dua model P3B, yakni OECD Model dan UN Model, telah menyatakan bahwa pendapatan perusahaan berupa capital gain atas OIT dapat dikenakan oleh negara lokasi aset berada. Namun, konsep yang relevan terkait pemajakan atas pengalihan aset tidak langsung di negara sumber penghasilan ini hanya tercantum di sekitar 35% P3B.
Sebenarnya, permasalahan ini sendiri telah diakomodasi dalam Multilateral Convention to Implement Tax Treaty Related Measures to Prevent BEPS (MLI). Secara tidak langsung, alokasi hak terkait pemajakan transfer aset tidak langsung ke negara-negara lokasi aset yang menjadi dasar transaksi berada juga telah termuat dalam ketentuan-ketentuan MLI.
Melalui MLI, jumlah P3B yang mengakomodasi Pasal 13 ayat (4) ini kemudian dapat semakin bertambah. Dampaknya pun diprediksi akan semakin meningkat ketika pihak-pihak yang baru saja menandatangani MLI setuju untuk melakukan reservasi perubahan atas klausul Pasal 13 ayat (4) dalam P3B-nya.
Namun, terlepas dari apapun yang ada dalam perjanjian, hak pemajakan semacam itu tidak dapat didukung tanpa definisi yang sesuai dengan hukum domestik tentang aset yang dimaksudkan untuk dikenai pajak. Dengan demikian, diperlukan dasar hukum domestik untuk menegaskan konsep hak pemajakan atas pengalihan aset secara tidak langsung tersebut.
PCT kemudian melihat adanya kebutuhan untuk memperoleh pendekatan yang lebih seragam terhadap pemajakan atas OIT oleh negara-negara yang memilih untuk mengenakannya. Hal ini dikarenakan respons kebijakan unilateral berbagai negara sangat luas cakupannya, terutama dalam hal aset mana yang dicakup dan pendekatan hukum yang diambil.
“Koherensi yang lebih besar dapat meningkatkan kepastian pajak,” imbuh PCT.
Laporan tersebut pun menguraikan dua pendekatan utama untuk pengenaan pajak atas OIT oleh negara tempat underlying asset berada. Meskipun tidak ada preferensi secara umum, pada intinya PCT tetap menegaskan bahwa kedua pendekatan terkait ini harus disusun secara hati-hati.
Dalam laporan bersangkutan, model pertama memperlakukan OIT sebagai pelepasan aset seluruhnya oleh perusahaan melalui entitas lokal. Dengan kata lain, adanya keuntungan OIT dari penjualan maupun transaksi tertentu lainnya akan dianggap sebagai deemed disposal dari pihak lokal yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan.
Penentuan adanya hubungan istimewa dapat ditetapkan melalui aturan domestik yang sederhana. Dengan demikian, negara sumber yang merupakan lokasi tempat beradanya akan tetap memperoleh hak pemajakan.
Selanjutnya, model kedua menganggap bahwa penjualan aset OIT dilakukan secara aktual oleh perusahaan tetapi keuntungan atas pengalihan aset tersebut dianggap bersumber dari negara lokasi aset sehingga negara sumber pun berhak untuk mengenakan pajak.
“Pilihan yang tepat akan bergantung pada keadaan dan preferensi negara,” imbuh PCT.
Penyusunan panduan ini mempertimbangkan komentar yang diterima selama dua kali konsultasi publik pada 2017 dan 2018. Komentar tersebut berasal dari berbagai kelompok yang mewakili otoritas negara, organisasi masyarakat sipil, dan sektor swasta.
Peluncuran instrumen ini nantinya akan dilengkapi dengan webinar pada beberapa minggu mendatang. Adapun PCT adalah kolaborasi terkait perpajakan yang diinisiasi oleh International Monetary Fund (IMF), Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), United Nations (UN), dan World Bank Group (WBG). (kaw)