PROVINSI DKI JAKARTA

Pemprov DKI Terbitkan Aturan Baru Soal SPTPD, Simak Detailnya

Nora Galuh Candra Asmarani
Kamis, 26 September 2024 | 12.00 WIB
Pemprov DKI Terbitkan Aturan Baru Soal SPTPD, Simak Detailnya

Warga melintas di jalan MH Thamrin, Jakarta, Jumat (20/9/2024). ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/agr

JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerbitkan peraturan baru yang mengatur tentang tata cara pengisian dan penyampaian surat pemberitahuan pajak daerah (SPTPD). Peraturan yang dimaksud, yaitu Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta 31/2024.

Pergub tersebut dirilis untuk melaksanakan ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) 35/2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (KUPDRD). Selain SPTPD, Pergub DKI Jakarta 31/2024 juga mengatur masa pajak, tahun pajak, dan bagian tahun pajak daerah.

“... bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (5) dan Pasal 69 ayat (5) PP KUPDRD, perlu menetapkan Peraturan Gubernur tentang Masa Pajak, Tahun Pajak dan Bagian Tahun Pajak serta Tata Cara Pengisian dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Daerah,” bunyi pertimbangan pergub tersebut, dikutip pada Kamis (26/9/2024).

Pergub DKI Jakarta 31/2024 tersebut berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu 11 September 2024. Berlakunya Pergub DKI Jakarta 31/2024 akan sekaligus mencabut beleid terdahulu, yaitu Pergub DKI Jakarta 81/2016 tentang Tata Cara Penerbitan, Pengisian, dan Penyampaian SPTPD.

Merujuk Pergub DKI Jakarta 31/2024, SPTPD adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.

SPTPD wajib diisi dan disampaikan oleh wajib pajak untuk 3 jenis pajak. Ketiga jenis pajak tersebut meliputi pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), serta pajak barang dan jasa tertentu (PBJT).

SPTPD tersebut di antaranya untuk melaporkan pajak yang telah dibayarkan oleh wajib pajak bersangkutan. Adapun SPTPD paling sedikit memuat peredaran usaha dan jumlah pajak terutang per jenis pajak dalam 1 masa pajak.

Wajib pajak harus mengisi SPTPD dengan benar dan lengkap. Benar berarti benar dalam perhitungan, penerapan peraturan perundang-undangan pajak daerah, penulisan, dan sesuai keadaan sebenarnya.

Sementara itu, lengkap berarti memuat semua unsur objek pajak dan unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPTPD termasuk penandatanganan SPTPD atau pengguna menyetujui klausul persetujuan di aplikasi elektronik.

Pengisian dan penyampaian SPTPD tersebut dapat dilakukan secara elektronik melalui website resmi Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta. Selain itu, SPTPD juga bisa disampaikan melalui aplikasi lain yang ditetapkan oleh Kepala Bapenda DKI Jakarta.

Ketentuan pengisian dan penyampaian SPTPD secara elektronik tersebut baru mulai berlaku 1 bulan sejak tanggal diundangkannya Pergub DKI Jakarta 31/2024. Artinya, kewajiban pengisian dan penyampaian SPTPD secara elektronik baru berlaku sekitar 11 Oktober 2024.

Namun, apabila terjadi gangguan sistem elektronik maka pelaporan SPTPD bisa dilakukan secara manual. Pelaporan SPTPD secara manual itu dilakukan menggunakan formulir dari kantor Unit Pelayanan Pemungutan Pajak Daerah (UPPPD) atau diunduh melalui website dan disampaikan secara langsung ke kantor UPPPD.

SPTPD tersebut wajib dilampiri dengan 2 dokumen. Pertama, rincian transaksi untuk masa pajak yang bersangkutan. Kedua, Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) sebagai bukti pelunasan pajak. Apabila dokumen tersebut tidak dilampirkan maka SPTPD dianggap tidak disampaikan

Khusus untuk BPHTB, SSPD dipersamakan sebagai SPTPD. Sementara itu, untuk wajib pajak PBBKB dan PBJT harus menyampaikan SPTPD maksimal 15 hari kerja setelah berakhirnya masa pajak. Apabila wajib pajak memiliki beberapa objek pajak maka SPTPD wajib dilaporkan untuk setiap objek pajak.

Wajib Pajak yang tidak melaporkan SPTPD atau melaporkan SPTPD setelah melewati jangka waktu yang ditetapkan akan dikenakan sanksi denda senilai Rp100.000. Namun, sanksi tersebut tidak dikenakan apabila wajib pajak mengalami keadaan kahar, seperti terkena bencana alam, kebakaran, atau kerusuhan massal. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.