TANAH sangat dibutuhkan guna memenuhi kebutuhan dasar, terutama untuk papan dan lahan usaha. Selain itu, tanah juga merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan. Di sisi lain, bangunan yang berdiri di atas tanah juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya.
Berbicara soal tanah (bumi) dan/atau bangunan, ada sejumlah pajak yang melekat di antaranya pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2). Dalam perkembangannya, pemerintah menyesuaikan ketentuan PBB-P2 melalui UU HKPD. Lantas, apa itu PBB-P2?
PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Yang dimaksud dengan bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman. Sementara itu, bangunan berarti konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan bumi dan di bawah permukaan bumi.
Bumi yang dikenakan PBB-P2 termasuk juga permukaan bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan. Penegasan pengenaan PBB-P2 atas bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan merupakan klausul baru yang tercantum dalam UU HKPD.
Sesuai dengan pengertiannya, PBB-P2 menyasar orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
Dengan demikian, pembayaran PBB-P2 tidak selalu dibebankan kepada pemilik bumi dan/atau bangunan. Dalam konteks tertentu, pembayaran PBB-P2 bisa dibebankan kepada pihak yang menguasai atau memanfaatkan bumi dan/atau bangunan tersebut.
Misal, Tuan Arif memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau bangunan milik orang lain bernama Tuan Basori. Alhasil, Tuan Arif yang memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau bangunan bisa saja ditetapkan menjadi pihak yang membayar PBB-P2
Namun, tidak semua bumi dan/atau bangunan dikenakan PBB-P2. Sebab, pemerintah telah menetapkan 9 objek yang dikecualikan dari pengenaan PBB-P2 sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (3) UU HKPD.
Pertama, bumi dan/atau bangunan kantor pemerintah, kantor pemerintahan daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik daerah. Kedua, bumi dan/atau bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh pemerintah.
Ketiga, bumi dan/atau bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.
Keempat, bumi dan/atau bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis.
Kelima, bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.
Keenam, bumi dan/atau bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat sesuai dengan asas perlakuan timbal balik. Ketujuh, bumi dan/atau bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri;
Kedelapan, bumi dan/atau bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (mass rapid transit), lintas raya terpadu (light rail transit), atau yang sejenis. Kesembilan, bumi dan/atau bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh kepala daerah.
PBB-P2 dikenakan berdasarkan nilai jual objek pajak (NJOP). NJOP tersebut ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2. Besaran NJOP ditetapkan oleh kepada daerah setiap 3 tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
Dalam perhitungan PBB, total NJOP bumi dan bangunan akan terlebih dahulu dikurangkan dengan NJOP tidak kena pajak (NJOPTKP). Berdasarkan UU HKPD, besaran NJOPTKP ditetapkan paling sedikit sebesar Rp10 juta untuk setiap wajib pajak.
Lebih lanjut, UU HKPD membawa perubahan yang fundamental terkait dengan PBB-P2, yaitu dasar pengenaan PBB-P2 yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 kini ditetapkan paling rendah 20% dan paling tinggi 100% dari NJOP setelah dikurangi NJOPTKP.
Sebagai informasi, PBB-P2 ialah jenis pajak kabupaten/kota yang diterapkan sejak diundangkannya UU PDRD. Sebelumnya, pemungutan dan pengadministrasian PBB sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah pusat.
Sejak UU PDRD diundangkan, kewenangan pemungutan PBB terbagi menjadi 2, yaitu kewenangan pemerintah pusat dan kewenangan pemerintah daerah.
Untuk pemerintah pusat, mereka berwenang memungut PBB atas kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, pertambangan, dan sektor lainnya (disebut PBB-P3L atau PBB P5L). (rig)